Senin, 12 April 2010

SEMESTINYA TAK TERJADI


Tak semestinya terjadi. Sahabatku sudah dua malam meninggalkan rumah. Baginya rumah sudah tidak lagi memberikan kenyamanan. Setiap kali menginjakan kaki di rumah selepas kerja, anak-anak merengek sementara suaminya yang tiga tahun sudah dirumahkan langsung meminta dibuatkan kopi.

Sudah dibikin Kopi, kini suaminya menyuruh membelikan rokok. Rokok sudah dibelikan, suaminya minta lagi untuk yang lainnya sampe mengepel dan menyetrika baju. Apalagi anak-anak. Menurutnya, kepulangannya ke rumah hanyalah kerinduan anak-anak agar ada orang yang bisa mengatasi masalah mereka. dari mengumpulkan mainan yang berantakan, hingga memandikan dan menyiapkan makanan.

Hidup yang terus terjadi begitulah yang dialaminya. Maka ketika suaminya mempersoalakan hal yang tak mungkin dipenuhnya, ia pun angkat bicara. Bicara konon kabarnya tak disukai laki-laki. Seperti ceritra jaman dulu, serdadu menghukum orang bercemuran, tanpa suara itu yang dikehendaki suaminya.

Tapi apa mau dikata. Mulut tak lagi mampu terkunci. Kelu kesah hanya diakhiri air mata, ketika suaminya menamparnya. Semenjak itu, pergi dia meninggalkan rumah. Pergi dengan kekesalan, juga penyesalan. Tak mampu ia berkata lebih, kecuali bayangan pulang ke rumah berarti pulang menjemput masalah.

Keadilan kah yang dibicarakan? Atau justru saling menghargai itu yang jauh lebih penting? Atau justru, pekerjaan dan uang serta materi yang mesti diperjuangkan? Semestinya tak terjadi. Tapi biarlah kemerdekaan membawanya pada kesunyiaan. Dan kesunyian membawa kerinduan untuk pulang berserah diri.

kira-kira begitulah kalau pingin nulis sesuatu dari suatu yang baru terjadi.

Untukmu... ya untuk mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar