Rabu, 28 April 2010

Perempuan Jangan Diperalat Untuk Pilkada

Sumber :Pos Kupang, Minggu, 25 April 2010

Jakarta, POS KUPANG.Com - Anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, Angelina Sondakh mengingatkan kalangan perempuan agar jangan mau diperalat untuk kepentingan kelompok tertentu dalam pilkada.

"Sudah saatnya perempuan lebih berani lagi, jangan mau diperalat apalagi dikuasai untuk kepentingan politik sesaat," katanya kepada ANTARA News di Jakarta, Sabtu, sehubungan dengan maraknya artis perempuan diusung menjadi calon wakil bupati atau wakil wali kota di sejumlah daerah.

Menyikapi banyaknya artis perempuan yang dicalonkan dalam pilkada tapi hanya sebagai wakil, menurut Angelina Sondakh, hal ini patut mendapat perhatian serius, terutama oleh kaum perempuan sendiri.

"Masih dalam konteks memperingati semangat kepahlawanan ibu Kartini, saya mengajak semua perempuan Indonesia, agar beranilah berjuang untuk hakmu sendiri, jangan cuma mau diperalat," katanya.

Menurut dia, jika perempuan sudah bisa berjuang untuk haknya sendiri, barulah dia bisa memberi diri bagi kepentingan banyak orang.

"Bagaimana mau berjuang untuk orang banyak, kalau berjuang untuk haknya sendiri tidak bisa," katanya.

Angelina Sondakh juga mengharapkan, pengertian rekan politisi di berbagai partai, agar bisa menempatkan kader perempuan dari latar apa pun, termasuk artis sesuai posisi yang benar, tidak hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan sesaat. (ant)

Rabu, 21 April 2010

HARI KARTINI, DAN PERANG PEREMPUAN MELAWAN HIV

Sumber : SINAR HARAPAN, Rabu 21 April 2010
OLEH: WURYANTI PUSPITASARI


Jakarta,Hari Kartini, yang selalu diperingati oleh segenap bangsa sebagai simbol kebangkitan perempuan di Tanah Air bisa dijadikan momentum bagi para srikandi Indonesia untuk berperang melawan HIV.

Pasalnya, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya.

"Peningkatan infeksi baru HIV yang signifikan ada di kalangan ibu rumah tangga," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi.

Nafsiah menjelaskan, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada tahun 2002-2009, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV terus meningkat.

"Jumlah pekerja seks komersial yang terinfeksi HIV terus menurun grafiknya, namun ibu rumah tangga malah terus meningkat," katanya.

Hal tersebut disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku berisiko.

"Yang mengkhawatirkan adalah peningkatan jumlah kasus penularan dari ibu ke anak," katanya.

Karena itu, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengharap permasalahan HIV dapat segera ditangani dengan baik.

"Bila tidak ditangani epidemi HIV akan merambat masuk ke keluarga dan masyarakat umum," katanya.

Untuk itu, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional terus melakukan intervensi khusus, program kondom perempuan untuk melindungi dari kegiatan seks berisiko.

"Pengguna kondom perempuan adalah mereka yang khawatir terkena infeksi menular sosial atau kegiatan seks berisiko," katanya.

Selain ibu rumah tangga, pada saat ini juga banyak perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV disebabkan oleh perilaku berisiko pasangan mereka atau tertular dari pasangan intim.

Semakin banyak perempuan terinfeksi HIV dan sebagian besar dari mereka tidak memiliki perilaku berisiko," kata Nafsiah.

Laporan terbaru mengenai penularan HIV pada hubungan pasangan intim di Asia menekankan pada peningkatan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV melalui suami atau pasangan intim mereka.

Diperkirakan sekitar lebih dari 90 persen dari 1,7 juta perempuan hidup dengan HIV di Asia terinfeksi dari suami atau pasangan mereka pada hubungan jangka panjang.

Pada tahun 2008, 35 persen dari seluruh orang dewasa terinfeksi HIV di Asia adalah perempuan, naik 17 persen dari tahun 1990.

Bahkan laporan regional mengenai "Penularan HIV pada hubungan pasangan intim di Asia" mengkaji isu perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV disebabkan oleh perilaku Berisiko pasangan mereka.

Bukti dari hampir semua negara di Asia menunjukkan bahwa perempuan yang tertular HIV bukan dari perilaku mereka sendiri, akan tetapi karena perilaku seksual tidak aman yang dilakukan pasangan karena pasangan mereka adalah laki-laki yang berhubungan dengan laki-laki lain, pengguna narkoba suntik atau klien pekerja seks komersial.

Nafsiah mengatakan bahwa epidemi HIV di Indonesia pada saat ini telah mengarah pada penularan mengenai aktivitas sosial dan semakin banyak perempuan terinfeksi HIV.

"Kita baru saja meluncurkan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia tahun 2010-2014 yang menekankan pada kebutuhan untuk memperkuat strategi penanggulangan, termasuk penularan melalui aktivitas seksual untuk menghindari epidemi HIV yang semakin luas di Indonesia," katanya.

Perkuat program

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan bahwa pihaknya perlu memperkuat program-program hak azasi reproduksi perempuan dan untuk meningkatkan kekuatan menawar wanita dalam menolak hubungan seksual berisiko tinggi.

Menurut Menteri, pada beberapa kunjungan kerjanya ke beberapa wilayah ,banyak dijumpai kasus perempuan yang tidak punya perilaku berisiko, namun terifveksi HIV karena tertular oleh suaminya.

"Banyak perempuan yang tidak punya perilaku berisiko malah tertular AIDS dan kini mereka menjadi bingung," katanya.

Hal itu, menurut Menteri ,merupakan sinyalemen bahwa perempuan Indonesia bisa menjadi korban atas perilaku berisiko suami atau pasangannya.

Untuk itu, pemerintah akan meningkatkan upaya sosialisasi dan pendidikan HIV kepada perempuan Indonesia khususnya mereka yang berada di wilayah terpencil.

"Kemudian kita juga akan anjurkan pentingnya menggunakan alat kontrasepsi atau kondom," katanya.

Selain itu, menurut Menteri, seluruh lapisan masyarakat juga harus berperan aktif dalam menyebarkan informasi mengenai HIV dan penularannya.

Menteri juga memberikan apresiasi kepada sejumlah LSM dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang dinilainya telah banyak memberikan kontribusi serta rencana aksi yang jelas terkait HIV.

Menteri juga mengharapkan bahwa peringatan hari Kartini dapat dijadikan momentum oleh kaum perempuan di Indonesia untuk berani memposisikan dirinya.

"Perempuan harus berani memposisikan dirinya, khususnya bisa menolak hubungan seks yang berisiko HIV, salah satunya dengan berkomunikasi dengan baik dengan pasangannya dan menggunakan alat kontrasepsi " katanya.

Menteri juga menambahkan, banyaknya perempuan yang tertular AIDS bukan dari perilaku berisiko melainkan dari pasangannya terjadi bukan hanya kurangnya keberanian untuk menyampaikan pendapat di depan pasangan melainkan akibat ketidakpahaman akan HIV.

"Karena itu pendidikan soal HIV penting diberikan kepada kaum perempuan," katanya. (ant)

Membangun Perpustakaan Sekolah

SUMBER : ,MEDIA INDONESIA, Senin, 19 April 2010
Perpustakaan, sebagaimana lazimnya diakui, adalah 'jantung' atau 'roh' pendidikan. Ia adalah pusat informasi, pusat belajar, pusat kajian, dan pusat penyebaran informasi. Oleh karena itu, perannya sangat strategis dalam menunjang keberhasilan studi dalam jenjang apa pun--mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Perpustakaan yang lengkap dan baik akan menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Dalam perpustakaan yang terorganisasi dengan baik, informasi apa pun akan ditemukan secara mudah, cepat, dan tepat karena adanya sistem penyimpan dan penemuan kembali.

Adanya tuntutan yang semakin meningkat dalam perolehan informasi dan arus globalisasi yang menyebabkan melimpahnya informasi dalam pelbagai jenis maupun bentuk media serta tersedianya perangkat yang mampu menunjang kegiatan yang sulit dilakukan di masa-masa lalu jelas memberikan peluang besar bagi perpustakaan dalam hal ini perpustakaan sekolah untuk membenahi diri dalam pola layanan, kebijakan koleksi, pengadaan, dan lainnya.

Realitas perpustakaan

Nasib perpustakaan di Indonesia memang sejak dulu terbengkalai. Bukan hanya perpustakaan sekolah yang kondisinya menyedihkan, melainkan juga perpustakaan-perpustakaan lainnya juga mengalami hal serupa. Dari sekitar 1.000 perpustakaan khusus yang ada di Indonesia, misalnya, baru 10% dari jumlah itu yang dapat dikatakan baik. Bahkan, dana yang dialokasikan pemerintah untuk anggaran perpustakaan nasional juga sangat kurang memadai. Akibatnya, perpustakaan nasional tidak bisa memberikan layanan yang prima kepada masyarakat di berbagai daerah.
Kondisi itu semakin runyam dengan rendahnya budaya baca di indonesia. meskipun data yang dikeluarkan UNESCO pada 1993 mencatat 84% penduduk Indonesia sudah melek huruf, jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma 69%, angka kunjungan ke berbagai perpustakaan terlihat tidak sejalan dengannya. Pemimpin Perpustakaan Nasional pernah mengatakan bahwa cuma 1% penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan. Jika dikaitkan dengan penerbitan buku, hanya ada 12 judul baru setahun untuk setiap juta penduduk Indonesia rata-rata negara berkembang 55 judul, dan negara maju 513 judul baru setahun untuk setiap juta penduduk. Demikian pula, jumlah tiras surat kabar hanya 2,8% dari penduduk Indonesia standar UNESCO 10% (negara maju di atas 30%). Dengan demikian, kemelekhurufan masyarakat Indonesia belumlah fungsional atau tidak digunakan untuk menyerap dan mereproduksi informasi tertulis.

Dengan berbagai tantangan dan kenyataan yang ada, perpustakaan sekolah perlu merumuskan kembali jati dirinya sebagai perpustakaan yang baik. Sebagai perpustakaan yang baik, perpustakaan sekolah diharapkan dapat menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Konsep kepemilikan informasi, yang tadinya ditekankan pada penyediaan gedung serta koleksi selengkap mungkin, tidak lagi memadai. Padahal, informasi memang tersedia, terus berkembang, dan dibutuhkan bagi pembentukan masyarakat belajar. Di sinilah perpustakaan dituntut menjalankan peranannya sebagai mediator informasi.

Perpustakaan digital

Solusi ideal untuk berbagai permasalahan tersebut adalah mentransformasikan perpustakaan tradisional sekolah menjadi perpustakaan digital. Internet menawarkan alternatif baru dalam penyediaan informasi dan sekaligus penyebarluasan informasi. Jika sebelumnya, informasi berbasis cetak merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang tersedia format baru dalam bentuk digital melalui web. Koleksi bahan digital yang ditransmisikan secara elektronik, yang disebut perpustakaan digital, keberadaannya semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi pengguna.

Di sisi lain, standar dan teknologi internet sebagai media penyedia bahan digital akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Kalangan tertentu pengamat perpustakaan digital menyebutkan ada empat hal yang akan membuat internet nantinya semakin dominan sebagai bisnis. Pertama, infrastruktur internet akan terus diperkuat dan ditingkatkan untuk menyediakan tulang punggung yang berkapasitas tinggi dan aman. Kedua, internet akan menghubungkan dan mengintegrasikan sistem noninternet seperti pertukaran data elektronik dan pemrosesan transaksi. Ketiga, internet akan memungkinkan pengguna mengakses informasi dan pelayanan dari mana saja serta kapan saja dengan menggunakan peralatan pilihan mereka. Keempat, dengan terjadinya ledakan informasi yang tersedia melalui internet, akan tersedia berbagai pendekatan baru untuk menemukan dan mengindeks informasi (Robert B Palmer, 1997).

Sekalipun memerlukan investasi yang cukup besar untuk membuat perpustakaan digital, yang tentunya merupakan kendala tersendiri di masa krisis ini, dalam operasinya perpustakaan ini secara ekonomis lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan perpustakaan tradisional. Ada empat alasan mengapa jenis perpustakaan digital bisa lebih ekonomis. Pertama, institusi dapat berbagi koleksi digital. Kedua, koleksi digital dapat mengurangi kebutuhan terhadap bahan cetak pada tingkat lokal. Ketiga, penggunaannya akan meningkatkan akses elektronik. Dan keempat, nilai jangka panjang koleksi digital akan mengurangi biaya berkaitan dengan pemeliharaan dan penyampaiannya (Stephen Chapman & Anne R Kenney, 1996).

Namun, dengan segala keterbatasan yang ada--terutama anggaran, dukungan masyarakat dan pemerintah serta sarana dan prasarana pendukung--perpustakaan digital tampaknya masih merupakan impian bagi sebagian besar sekolah. Lebih jauh, ada sejumlah masalah perpustakaan jenis ini yang mesti dipikirkan bila keberadaannya di sekolah dipancangkan sebagai rencana jangka panjang--seperti batasan usia untuk mengakses informasi dalam situs-situs 'tertentu'. Sekalipun demikian, sebagai bentuk perpustakaan masa depan, perpustakaan digital harus tetap diimpikan dan berupaya dicapai sekolah.

Kebijakan koleksi perpustakaan

Alternatif paling realistik untuk menyikapi berbagai tantangan dan kenyataan yang menghadang di depan mata adalah menetapkan arah kebijakan koleksi kepustakaan sekolah. Minimnya anggaran tidak bisa dijadikan alasan buruknya kondisi perpustakaan yang ada di suatu sekolah. Bila sekolah menyadari bahwa andil perpustakaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangat besar, ia harus dapat menyiasati persoalan itu agar bisa mengembangkan perpustakaannya.

Apabila alternatif itu ditempuh, beberapa hal sehubungan dengan kebijakan koleksi pustaka perlu dipikirkan, antara lain: perumusan arah kebijakan koleksi, badan yang menjalankan kebijakan tersebut, kriteria pengadaan koleksi pustaka itu sendiri, prosedurnya, dan pertimbangan ulang terhadap koleksi yang dianggap bias. Masalah hak cipta, sehubungan dengan penggandaan bahan-bahan dalam proses mengajar-belajar, juga barangkali perlu ditetapkan sebagai kebijakan perpustakaan sekolah.

Sehubungan dengan prosedur, pengurus perpustakaan sekolah dapat mendelegasikan tanggung jawab kepada siswa untuk ikut terlibat dalam membuat prosedur-prosedur administratif mulai dari surat-menyurat sampai persyaratan-persyaratan peminjaman pustaka maupun pemutihan pustaka--yang secara efektif dapat mendukung implementasi kebijakan koleksi pustaka. Sementara itu, tentang hak cipta dan penggandaan bahan untuk kepentingan proses belajar-mengajar harus dilakukan secara prosedural karena Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia tidak membolehkan penggandaan bahan-bahan pustaka tanpa otorisasi pemegang hak cipta, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu yang bersifat nirlaba. Pengecualian itu bisa dimanfaatkan pihak perpustakaan sekolah secara fair untuk mendukung proses belajar-mengajar. Penggandaan bahan-bahan pustaka secara sebagian untuk menunjang proses tersebut, tanpa tujuan komersial dan tanpa menimbulkan kerugian pemegang hak cipta, masih dapat ditoleransi. Yang tidak dapat ditoleransi adalah jenis-jenis penggandaan yang bersifat komersial dan merugikan pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, pelanggarnya dapat dituntut sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Apabila perpustakaan sekolah dikembangkan seperti yang diutarakan, kita bisa berharap dalam waktu-waktu mendatang ia dapat berfungsi sebagai perpustakaan yang baik, yakni perpustakaan yang dapat menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan para penggunanya, untuk dan dalam rangka meningkatkan proses belajar-mengajar yang lebih berorientasi pada kualitas.

Oleh Taufik Adnan Amal, Dosen UIN Alauddin, Makassar

Membangun Budaya Baca

SUMBER : MEDIA INDONESIA , Senin, 19 April 2010
RUBRIK : Calak Edu

Telah menjadi rahasia umum bahwa budaya baca masyarakat Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Jangankan masyarakat, guru dan dosen sekalipun, meski secara individual adalah pendidik yang dekat dengan dunia baca-membaca, pada kenyataannya juga rendah minat dalam membaca. Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa kebiasaan guru dalam membaca kurang dari 1 jam per hari.

Kebiasaan membaca yang kurang baik itu bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun! Jumlah judul buku baru yang ditulis dan diterbitkan itu menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih tergolong rendah. Mengapa demikian?

Fakta menunjukkan bahwa secara budaya dan tradisi, masyarakat kita adalah masyarakat bertutur yang fasih. Ketika budaya bertutur masih melekat, akibat kemajuan teknologi, saat ini kita dihadapkan dengan budaya melihat atau menonton acara televisi yang sedemikian kuat dan dahsyat pengaruhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat. Lihatlah bagaimana ulah pengendara mobil dan sepeda motor yang ketika membaca larangan berhenti dalam bentuk simbol huruf S, tetapi tidak cukup bisa mengartikan karena mereka tak memiliki budaya baca yang benar. Demikian juga di aparatur penyelenggara negara dan dunia birokrasi kita, begitu banyak peraturan dan undang-undang dihasilkan, tetapi mereka tidak cukup bijak dalam membacanya secara jernih dan berimplikasi pada kebijakan publik yang pro pada kebutuhan rakyatnya.

Lompatan dari tradisi bertutur ke tradisi menonton yang tanpa diperkuat dengan membangun budaya baca sebelumnya, dengan demikian, menghasilkan orang-orang yang bukan hanya tidak cerdas dalam 'membaca' bacaan, melainkan juga mengurangi sensitivitas seseorang dalam merekayasa perilaku yang sesuai dengan hati nurani dan akal pikiran sekaligus. Oleh karena itu, penting untuk dipikirkan strategi membangun budaya baca sesegera mungkin.

Pertanyaannya kemudian adalah di manakah seharusnya kita membangun dan mengembangkan budaya baca sedini mungkin? Jawabannya adalah di rumah dan di sekolah. Para orang tua perlu digugah kesadarannya untuk menciptakan lingkungan membaca bagi anak-anak mereka di rumah. Memberi contoh membaca dan mengajak anak-anak ke toko buku adalah cara sederhana yang bisa dilakukan para orang tua. Sementara itu, di sekolah, melalui perpustakaan dan budaya sekolah yang sehatlah dapat dibangun budaya membaca yang baik.

Sekolah, melalui program perpustakaan sekolah, harus mampu mengembangkan strategi atau pendekatan yang baru agar anak menjadi lebih tertarik ke perpustakaan dan membaca buku yang mereka inginkan. Sekolah dapat menerapkan program fun with book, weekly reading hours, atau ekspose buku baru secara berkala dan berjenjang yang disesuaikan dengan tema dan subjek yang dipelajari siswa. Selain itu, jenis-jenis penghargaan atau apresiasi bagi siswa yang membaca buku paling banyak dalam satu minggu perlu dilakukan. Pemilihannya dapat dilakukan dengan cara melihat catatan peminjam buku di perpustakaan sekolah dalam satu minggu, kemudian mengujinya dengan cara menanyakan secara langsung atau memberi mereka kepercayaan untuk menceritakan apa yang telah dibacanya di depan kelas.

Program lain juga dapat dilakukan melalui pendekatan perpustakaan lebar dan terbuka. Caranya, di setiap kelas, ruangan atau sudut tertentu dari sekolah bisa diletakkan rak-rak buku/majalah sehingga ketika ada waktu luang atau istirahat, anak-anak dapat dengan mudah memperoleh akses untuk selalu membaca. Cara itu bahkan bisa dengan mudah dapat diadaptasi sekolah yang tidak memiliki ruangan khusus untuk perpustakaan. Bahkan di beberapa sekolah yang lokasi dan bangunannya sangat sederhana, kebutuhan rak-rak untuk perpustakaan bisa dibuat dengan bahan-bahan yang sangat sederhana, tapi kontekstual dan bersih. Batu kali atau batu bata yang telah dibersihkan bisa ditumpuk secara berjenjang, kemudian di antara setiap tumpukan bisa dimasukkan papan atau bambu sehingga bentuknya menjadi sangat artistik dan kokoh.
Pentingnya membangun perpustakaan sekolah dan jika memungkinkan perpustakaan komunitas sekecil atau sesederhana apa pun jelas merupakan kebutuhan agar budaya membaca dapat diciptakan dan puncak-puncak peradaban dapat dibangun. Persis seperti keyakinan Henry Ward Beecher, "A little library, growing larger every year, is an honorable part of a man's history. It is a man's duty to have books. A library is not a luxury, but one of the necessaries of life."

Ahmad Baedowi

Hormati Tubuh Perempuan

SUMBER : KOMPAS, Rabu, 21 April 2010 | 03:12 WIB

Oleh Nursyahbani Katjasungkana

Perjuangan perempuan untuk pengakuan hak seksual dan kesehatan reproduksi sejak paruh abad lalu telah banyak dicapai. Hak mengatur jarak dan jumlah kelahiran telah diakui banyak negara. Kriminalisasi aborsi yang bersumber pada kepercayaan dan diperkuat sumpah Hypocrates bahwa kehidupan dimulai sejak pembuahan, mulai ditinggalkan.

Aturan yang sangat kaku seperti dalam KUHP, misalnya, boleh disimpangi meski dengan alasan terbatas: keselamatan ibu dan atau bayinya serta alasan kehamilan karena perkosaan.

Alasan yang terakhir sesungguhnya bukan hal baru sebab sejak 1947 Mahkamah Agung telah melepaskan seorang dokter dari tuntutan hukum karena melakukan aborsi dengan alasan kehamilan tak dikehendaki akibat perkosaan oleh segerombolan laki-laki (gang rape). Sejak 1960-an, pengaturan menstruasi juga diizinkan Departemen Kesehatan. Demikian pula dengan Keluarga Berencana, yang semula banyak ditolak agamawan, sudah diterima sebagai way of life. Ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai alat kontrasepsi yang efektif ataupun pengobatan terhadap infertilitas.

Komitmen anggota PBB untuk melindungi dan memenuhi hak seksual dan reproduksi telah dideklarasikan di Kairo (1994), diperkuat dalam Deklarasi Beijing (1995), dan diperbarui dalam MDGs (2000) terutama untuk mengatasi kendala-kendala utama penghapusan kemiskinan.

Kesehatan reproduksi

Meski demikian, banyak pihak meragukan apakah target Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/ MDGs) untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) sampai 102/100.000 kelahiran hidup bisa dicapai. Ini karena banyak kendala: anggaran, tak cukup sarana dan prasarana, termasuk profesional yang membantu kelahiran, serta rendahnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan terutama di tingkat keluarga.

Pasal 76 UU Kesehatan mensyaratkan izin suami untuk melakukan aborsi dengan alasan kedaruratan medis. Seperti juga UU Perkawinan dan UU lainnya, suami sebagai kepala keluarga ditempatkan sebagai pengambil keputusan atas seksualitas, tubuh, dan nyawa istrinya. Meski pemerintah wajib melindungi perempuan dari aborsi tidak aman, angka kematian ibu akibat aborsi tak aman sangat tinggi, bahkan menyumbang 30-50 persen AKI (Widyantoro dan kawan-kawan, 2010).

Dengan kata lain, negara tak mampu melindungi perempuan dari aborsi tidak aman, tetapi tak mau bertanggung jawab atas kematian ibu karena secara legal telah menyerahkan kewenangan ke suami. Kebijakan ini jelas merupakan cara negara menghindar dari tanggung jawab yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan negara terhadap perempuan.

Tidak seperti yang diperkirakan banyak pihak, yaitu aborsi dilakukan oleh mereka yang berhubungan seks di luar perkawinan, hasil survei pada tahun 2000 menunjukkan, 2/3 aborsi dilakukan ibu yang telah kawin dengan pendidikan SMA dan separuhnya telah mempunyai dua anak. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa para istri tidak memiliki kontrol apa pun atas integritas tubuhnya.

Kehamilan yang tak dikehendaki diperkirakan terjadi karena ketidakberdayaan istri menegakkan hak seksual dan reproduksi terhadap suaminya, baik dalam penggunaan alat kontrasepsi maupun menolak berhubungan seksual. Hubungan seksual itu mungkin memang tanpa paksaan sebagaimana didefinisikan UU Kesehatan. Namun, norma, budaya, dan tafsir agama menempatkan perempuan pada posisi bukan pengambil keputusan dalam keluarga sehingga mereka tidak merasa bahwa itu adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan. Inilah yang disebut symbolic violence (Wieringa, 2009).

Kekerasan simbolik bersumber pada ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, yang diinternalisir masyarakat, sehingga perempuan tak menyadari kehidupannya terancam akibat diskriminasi dan kekerasan.

Kenyataan ini tampaknya tak menjadi perhatian para pembuat UU dan kebijakan, apalagi penegak hukum. Studi oleh Widyantoro dan kawan-kawan (2010) menunjukkan, aparat penegak hukum umumnya sangat legalistik, kurang sensitif jender, serta lemah pengetahuan dan kesadaran hukumnya tentang perubahan ketentuan aborsi dalam yurisprudensi ataupun UU Kesehatan baik lama maupun baru (UU No 26/2009).

Meski UU Kesehatan memberi kelonggaran untuk aborsi dengan alasan medis ataupun kehamilan akibat perkosaan, aparat penegak hukum masih juga menggunakan KUHP yang sangat rigid. Maka, hak seksual dan kesehatan reproduksi disosialisasikan terutama pada instansi penegak hukum.

Paradigma baru

Saat ini, persoalan juga terkait dengan paradigma dalam UU Kesehatan yang masih menempatkan hak seksual dan reproduksi dalam kerangka keluarga sah sehingga suami menjadi pengambil keputusan. Padahal, hak seksual dan kesehatan reproduksi adalah hak individual yang terkait pada mati hidup perempuan itu sendiri. Dengan demikian, pada perempuanlah seharusnya kontrol dan keputusan diberikan.

Jika dilihat hak seksual dan kesehatan reproduksi berada sepanjang siklus kehidupan manusia, perempuan sudah seharusnya mempunyai hak otonomi atasnya. Hanya dengan memberi penghormatan atas integritas tubuh dan otonomi pada perempuan diikuti tersedianya sarana dan prasarana serta anggaran cukup, angka kematian ibu dapat ditekan pada titik nol.

Nursyahbani Katjasungkana Koordinator Kartini Asia Network/Federasi LBH APIK

Nasib Perempuan Indonesia

SUMBER : Kompas, Rabu, 21 April 2010

Oleh Saparinah Sadli

Lebih dari seratus tahun lalu Kartini meninggal, empat hari sesudah melahirkan anak pertamanya. Dokter Belanda sebelumnya mendiagnosis tidak ada masalah pada kesehatan Kartini pasca-melahirkan. Namun, beberapa jam setelah dokter pergi, Kartini menurun kondisinya lalu meninggal.

Kartini bukan orang miskin. Sebagai istri bupati, ia mendapat pelayanan kesehatan optimal. Dalam buku Door Duisternis tot Licht, kematiannya direspons dengan pernyataan non-medis seperti: ”Kartini sudah mengisyaratkan meninggal pada usia 25 tahun. Kartini minta adiknya (Rukmini) merawat bayinya andai kata ia meninggal”.

Pada catatan kesehatannya, tampak potret Kartini dengan kondisi fisik tidak baik (sering sakit) setelah menjadi istri Bupati Rembang. Keputusan Kartini memenuhi permintaan bapaknya untuk kawin menghancurkan hatinya. Dia mengubur aspirasinya menjadi perempuan mandiri. Ia jelas menderita secara psikologis dan memikulnya sendiri.

Sebagai Raden Ayu (suaminya punya tiga istri), Kartini menderita secara fisik dan psikologis. Selama hamil ia sakit-sakitan dan makin parah menjelang melahirkan. Kartini meninggal pada usia 25 tahun (sepuluh bulan setelah menikah).

Lalu, pembelajaran apakah yang dapat ditarik dari kematian Kartini ini?

Belum di jalur tepat

Akhir Maret 2010, pemerintah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional. Tujuannya, meningkatkan sinergi pusat-daerah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) terutama poin 1 (kemiskinan), 4 (menurunkan angka kematian bayi/AKB), 5 (meningkatkan kesehatan maternal). Menurut Bappenas, target-target itu dapat dicapai Indonesia.

Namun, Women’s Research Center dalam penelitiannya menyebutkan: Menurunkan angka kematian ibu sesuai target MDGs 2015 sulit dicapai. Jakarta Post (5/3/10) memberitakan, pemerintah gagal memperbaiki kondisi kesehatan ibu. Terbukti angka kematian ibu (AKI) masih 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini diperdebatkan para ahli karena ada yang memperkirakan AKI lebih tinggi dari pemerintah.

Kita tidak perlu larut dalam kontroversi angka. Yang lebih penting adalah realitas di baliknya, yaitu hak hidup ibu Indonesia yang bertahun-tahun dilanggar. Menurut almarhum Prof dr Soedradji, ahli kebidanan, ”Dengan kemajuan teknologi kedokteran di Indonesia, ibu meninggal karena komplikasi melahirkan seharusnya tidak terjadi.”

Gubernur Bali dalam Rakornas Maret 2010 menyatakan, persoalan melahirkan mendasari kualitas bangsa.

Arti kedua pernyataan di atas adalah dengan kemajuan ilmu kedokteran ibu meninggal karena komplikasi melahirkan tidak bisa ditoleransi lagi. Kartini mungkin meninggal karena masalahnya tidak terdeteksi dengan pengetahuan dokter pada zaman itu.

Namun, dengan AKI yang masih tinggi sekarang, adakah perubahan dalam penanganan AKI dibanding pada zaman Kartini?

Dalam paradigma baru, upaya penurunan AKI dikaitkan dengan kemiskinan global dan jadi salah satu tujuan MDGs. Apa ciri-ciri ibu miskin di Indonesia?

Ia miskin gizi, miskin pengetahuan kesehatan reproduksi, miskin waktu memeriksakan kesehatan, miskin keterampilan meningkatkan status ekonomi keluarga, miskin akses pelayanan kesehatan dan KB berkualitas, miskin perhatian dari lingkungan sosial-budaya yang membiarkan terjadinya perkawinan dan kehamilan usia dini dan menganggap biasa perempuan hamil makan terakhir, tidur terakhir, dan bangun terpagi.

Pemerintah memang tidak diam menghadapi AKI tinggi. Akan tetapi, program Make Pregnancy Safer sampai Suami Siaga selama bertahun-tahun belum signifikan menurunkan AKI. Perlu dicermati hasil pertemuan Bappenas, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migrant Care dan donor yang mengidentifikasi sulitnya mengintegrasikan perspektif jender dalam proyek pembangunan (Kompas, 5/4/ 10).

Contohnya, Kementerian Pekerjaan Umum belum melihat relevansi perspektif jender dalam melaksanakan proyek-proyek besarnya. Padahal, KPI mengungkap desa yang tidak mempunyai jalan mempunyai AKI relatif tinggi. Jadi, bisakah disimpulkan target MDGs 5 tidak on track karena kebanyakan pejabat tidak memiliki perspektif jender?

Pembelajaran apa yang bisa ditarik dari bahasan di atas? Pertama, pentingnya mengintegrasikan perspektif jender dalam semua program pembangunan berskala besar.

Kedua, pengarusutamaan jender dilakukan serius dan memastikan setiap kebijakan memuat perencanaan dan penyediaan anggaran yang ”mempromosikan, melindungi, dan memberdayakan perempuan” (Presiden pada Hari Ibu 2009).

Ketiga, setiap pejabat berkesadaran AKI sebagai isu kesehatan reproduksi perempuan secara kompleks dipengaruhi faktor medis dan non-medis.

Keempat, mengembangkan toleransi nol terhadap pelanggaran hak-hak perempuan sebagai prioritas nasional.

Jangan diskriminatif

Meningkatkan kesehatan maternal memerlukan nilai, sikap, dan perilaku yang tidak mendiskriminasi hak-hak perempuan. Pada zaman Kartini diskriminasi dilakukan keluarga, pejabat pribumi, dan politik Pemerintah Belanda. Sekarang, diskriminasi dilakukan pejabat pusat dan daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.

Peningkatan kesehatan ibu- ibu miskin masih dihadang mitos ”ibu meninggal karena melahirkan akan masuk surga”; oleh suami yang menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap istri yang kehamilannya bermasalah dan bisa berakibat fatal; dan oleh petugas kesehatan yang tidak berperspektif jender.

Melahirkan bayi sehat oleh ibu yang sehat fisik, mental, dan sosial bukan isu perempuan, melainkan isu sosial-budaya-politik bangsa. AKI tinggi selama bertahun-tahun adalah dam- pak pembiaran pelanggaran hak-hak perempuan yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari perspektif jender Kartini yang tidak miskin sangat menderita akibat nilai-nilai tradisi yang tidak menempatkan hak perempuan setara dengan laki-laki, serta politik Belanda yang tidak mendukung pemikiran progresif anak bangsa.

Perempuan Indonesia hari ini telah mencapai berbagai kemajuan, tetapi masih banyak perempuan mengalami penderitaan fisik, mental, dan sosial.

Dari perspektif HAM resistensi memakai perspektif jender tidak boleh memengaruhi pencapaian target MDGs. Apalagi karena semua tujuan MDGs berwajah perempuan. Dengan demikian, pada hari Kartini 2011 kita bisa melihat target MDGs 5 telah di jalur yang tepat.

Saparinah Sadli Guru Besar Psikologi UI; Pendiri Program Kajian Wanita UI; Pendiri Komnas Perempuan

Perempuan Kartini NTT

Sumber : Pos Kupang, Rabu, 21 April 2010 | 09:41 WIB

Oleh : Oleh Ana Waha Kolin, S.H

Ruang bagi seorang perempuan untuk mengungkapkan persoalan yang menimpanya sangat tertutup, bahkan tidak ada sama sekali. Perempuan tetap terkungkung dan tetap dipandang sebagai 'makhluk kelas dua', melayani suami, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan mengasuh anak-anak.
Gerakan perempuan NTT dalam parlemen ditandai dengan masuknya tiga srikandi muda pada tahun 1982 dalam jajaran DPRD I NTT, yakni Dra. Mien Pattymangoe, Ibu Jane Lada dan Ibu Manafe. Proses awalnya dimulai dengan seleksi di tingkat Dharma Wanita, dan terjaringlah 3 (tiga) nama tersebut di atas. Masuknya tiga srikandi dalam jajaran DPRD I NTT ini tidak terlepas dari campur tangan Ibu Gubernur NTT pada saat itu yakni Ny. dr. Nafsiah Mboy. Sosok keibuan dari seorang dr. Nafsiah Mboy, merupakan suport awal bagi gerakan perjuangan perempuan NTT, karena setelah Dra. Mien Pattymangoe dan kawan-kawan, DPRD I NTT kembali diwarnai dengan sosok perempuan-perempuan tangguh seperti Mien Ratoe Oedjoe dan Mieke Therik. Kehadiran tokoh-tokoh perempuan di DPRD NTT telah membuahkan suatu keputusan yang sangat berpihak pada kaum perempuan itu sendiri. Perjuangan para tokoh ini, diharapkan menjadi sejarah yang tidak boleh terlupakan bagi gerakan perempuan NTT.
Mengapa ada gerakan perempuan? Hal ini didasari dengan suatu pemikiran dan penyadaran diri dari perempuan itu sendiri bahwa ada sesuatu yang hilang dan perlu ditemukan dan dimiliki kembali. Perempuan harus bergerak untuk melepaskan diri dari kungkungan yang menghalangi cita-cita mereka untuk memperoleh perlakuan yang sama.
Peningkatan keterwakilan perempuan di bidang apa saja merupakan sebuah motivasi untuk sebuah perubahan yang besar yang terkait dengan tatanan kehidupan umat manusia dan aspek lainnya. Meskipun demikian, hal ini tentu saja tidak sederhana mengingat bahwa hambatan-hambatan yang ada berupa sebuah lingkaran persoalan yang menyangkut aspek struktural, kultural, dan seperangkat norma-norma yang sangat mengikat. Distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan publik merupakan bagian dari upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih demokratis.
Tangan dingin dr. Nafsiah Mboy dalam memoles perjalanan gerakan perempuan NTT kemudian dilanjutkan oleh Ibu Maria Boleng Fernandez dengan menghidupkan organisasi PKK sampai ke tingkat kelurahan dan desa, Ibu Agnes Musakabe yang terkenal dengan Dekranasda, Ibu Erni Tallo mencoba mengkolaborasi program 3 (tiga) batu tungku dengan perjuangan perempuan dimulai dari apa yang dimilikinya. Dan yang tidak kalah hebatnya saat ini Ibu Lucia Adinda Lebu Raya, S.Pd mencoba memfasilitasi gerakan kembali ke pangan lokal. Ini merupakan suatu terobosan yang sangat strategis pada saat di mana masyarakat diperhadapkan dengan kegagalan panen.
Semua gerakan yang dilakukan oleh para istri dari orang nomor satu satu NTT ini dengan satu tujuan, yakni agar perempuan tidak akan terpuruk dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Dengan demikian perempuan mampu membangun dirinya dan keluarganya. Karena di tangan seorang 'Ibu' generasi penerus bangsa ini dipertaruhkan.
Perjalanan perempuan di bidang politik untuk DPRD I NTT pasca Dra. Mien Pattymangoe dan kawan-kawan, justru mengalami penurunan yang sangat signifikan. Dari enam orang pada Pemilu 2004 turun menjadi 4 orang pada Pemilu 2009, belum lagi di kabupaten/kota se- NTT, di saat ruang untuk kaum perempuan sudah terbuka sangat lebar. Demikian juga yang terjadi dalam bidang Eksekutif maupun Yudikatif. Persentase keterwakilan cendrung menurun. Di manakah letak kesalahannya?
Jumlah pemilih perempuan yang lebih besar (kurang lebih 56%) merupakan modal dasar perjuangan perempuan dalam memberikan pilihan politiknya. Tinggal saja bagaimana mengkomunikasikannya. Gerakan perjuangan belum berakhir, gerakan perempuan masih tetap saja diperlukan dalam segala bidang karena ini merupakan daya dorong dalam setiap pencapaian target pembangunan di NTT.
Jadilah seorang aktivis perempuan yang kreatif, inovatif dan pantang menyerah. Kaum perempuan tidak boleh menjadi nenek sihir di antara kaumnya sendiri karena ini akan membuka celah ke ambang kehancuran perjalanan perempuan itu sendiri dalam memperjuangkan kepentingan perempuan, anak dan rakyat Nusa Tenggar Timur secara keseluruhan. *

Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Propinsi NTT, Sekretaris Forum Komunikasi Pemerhati dan Perjuangan Hak-hak Perempuan NTT

Selasa, 20 April 2010

Perempuan Perkasa

Oleh : Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group

Sumber : Media Indonesia, Jumat, 16 April 2010


Sudah menjadi tradisi, seputar Hari Kartini selalu berkembang wacana tentang perjuangan perempuan perkasa itu. Ini cermin pengakuan atas jasanya mengentaskan kaumnya dari kebodohan. Di tengah kehebohan emansipasi kaum perempuan dunia di zamannya, dia muncul dengan gagasan memberi pendidikan pada kaumnya. Tidak terbayangkan bagaimana perempuan semuda itu sekitar 20 tahun memiliki pikiran sematang itu. Pada masa ketika masyarakat bahkan belum sadar akan jahatnya kungkungan penjajahan asing, dia sudah menyadari jahatnya kungkungan kebodohan bagi perempuan. Gagasan itu tumbuh berkat menyebarnya gelombang emansipasi yang berawal sejak revolusi industri di Eropa dan Amerika pada abad 18-19. Kartini yang mengenalinya dari bacaan, ingin kaumnya pun mengenal baca-tulis demi perluasan wawasan.

Sekjen PBB dalam pesan peringatan Hari Perempuan Internasional, tanggal 8 Maret yang baru lalu, menyatakan bahwa berkat tekad organisasi-organisasi masyarakatlah maka dewasa ini sebagian besar perempuan memperoleh pendidikan dan terjun ke bisnis maupun pemerintahan. Semakin banyak pula negara-negara yang memiliki undang-undang persamaan gender. Piagam PBB, yang ditandatangani di San Francisco tahun 1945, adalah persetujuan internasional pertama yang memproklamasikan persamaan gender sebagai hak asasi manusia.

Perempuan perkasa tantangan mental

Dalam International Women's Conference di Bali akhir bulan lalu, seorang peserta bertanya, mengapa perempuan terlalu peduli pada pendapat laki-laki tentang dirinya? Jawabnya: karena perempuan kurang percaya diri dan tidak ingin mengecewakan laki-laki.

Ada buku Why Men Love Bitches, karya Sherry Argov. Buku yang pernah paling laku di Amerika itu terbit pertama kali tahun 2000. Sampai sekarang sudah dicetak ulang 3x, diterjemahkan dalam lebih dari 20 bahasa dan beredar di banyak negara. Intinya, buku itu membuktikan, laki-laki zaman sekarang justru lebih menghormati (dan menyayangi) perempuan-perempuan yang yakin pada diri sendiri, yang merupakan tantangan mental bagi laki-laki. Istilah bitches bukan berkonotasi buruk, bukan berarti perempuan 'galak' di tempat kerja atau dalam pergaulan. Yang dimaksudkan adalah perempuan perkasa.

Perempuan perkasa menunjukkan keberanian melawan kecengengannya. Banyak contohnya. Di Indonesia, antara lain, tersebutlah Megawati Soekarnoputri, yang bersikap perkasa bukan hanya karena mazhab-mazhab politik maupun ekonomi yang mungkin dianggap melawan arus, tetapi karena keteguhan tekad pada apa yang dia yakini, yakni kepedulian pada kepentingan rakyat kecil dan kemaslahatan bersama.

Tokoh politik itu menjabat Ketua Umum PDIP sejak partai itu pisah dari Partai Demokrasi Indonesia (1999). Baru-baru ini PDIP memilihnya kembali untuk memimpin sampai 2015. Ketika Saur Hutabarat dengan serius mewawancarainya tentang itu lewat Metro TV, Ibu Mega tampak santai namun piawai karena keyakinannya. Begitu pula dalam pidato di Kongres PDIP, sikapnya yang bernas dan cerdas, yang memberi respons terhadap situasi ekonomi-politik saat ini, mendapat pujian dari banyak pihak. Itulah perempuan perkasa yang berhasil menjadi presiden perempuan pertama Indonesia, Juli 2001-Oktober 2004, sekalipun jalan menuju ke sana penuh sandungan.

Di bidang sosial dan kemanusiaan kita memiliki Yohana Sunarti Nasution (alm), pemimpin sejumlah yayasan sosial yang dikenal cinta masyarakat dan peduli pada kaum papa. Semua diawali dengan penderitaan batinnya karena kehilangan orang-orang terdekat yang dicintainya.

Dunia luar mencontohkan perempuan-perempuan perkasa seperti Margaret Thatcher, perempuan pintar yang menjabat Perdana Menteri Britania Raya 1979-1990, masa jabatan terpanjang dalam abad 20. Penentang ideologi komunis ini, yang berkiprah di masa Perang Dingin, mendapat julukan 'Wanita Besi' dari lawan-lawan politiknya.

Di bidang kemanusiaan kita kenal Ibu Teresa, biarawati Katolik keturunan keluarga Albania. Bulan Agustus nanti sedianya usianya mencapai 100 tahun. Berawal dari tahun 1948, dia membantu pendidikan anak-anak dari daerah kumuh di Calcutta dan sejak itu pengabdiannya membantu orang-orang sengsara berkembang luas. Dekrit Paus Paulus VI tahun 1965 meresmikan organisasi misionaris kedermawanan itu sebagai International Religious Family (Kerabat Religius Internasional) yang menyebar ke banyak negara.

Hadiah-hadiah perdamaian pernah diperolehnya, antara lain dari Paus JOHN XXIII (1971), Hadiah Nehru (1972), Hadiah Nobel (1979). Tentu banyak lagi perempuan perkasa, antara lain Indira Gandhi, Perdana Menteri India dalam dua periode berbeda: 1966-1977 dan 1980-1984. Dalam periode ke-2, jabatannya terhenti akibat pembunuhan atas dirinya. Tokoh lain, Benazir Bhutto, Perdana Menteri Pakistan untuk dua periode yang berbeda pula: 1988-1990 dan 1993-1996. Tokoh lulusan Harvard dan Oxford itu menjadi tokoh termuda dan perempuan pertama yang memimpin negara Islam pascamasa kolonial. Dia pun menjadi korban pembunuhan, 18 Oktober 2007, ketika sedang berkampanye untuk Pemilu 2008. Intrik politik telah gagal menghancurkan nama baiknya. Emansipasi memang telah membuka kesempatan bagi perempuan perkasa, tetapi jalan yang ditempuh tidak pernah sepi dari sandungan.

Senin, 19 April 2010

Tiga Tipe Kekuasaan di Tempat Kerja


Sumber : Media Indonesia , Senin, 19 April 2010 14:15 WIB
Penulis : Yulia Permatasari


KEKUASAAN atau pengaruh di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Setiap hari, Anda perlu berhubungan dengan orang-orang di kantor untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan. Oleh karena itu, memperkuat posisi Anda demi kepentingan tersebut patut dilakukan.

Sebelumnya kenalilah berbagai tipe kekuasaan yang ada di lingkungan kerja. Karena permainan kekuasaan ini merupakan hal yang sensitif dan Anda mungkin tidak bisa memengaruhi semua orang.

Nah, berikut ini adalah tiga tipe kekuasaan di lingkungan kerja yang dapat dilatih dan dipelajari:

1. Role power
Role power adalah otoritas dan kekuasaan lain yang diberikan berdasarkan peran seseorang di tempat kerja. Role power merupakan jenis kekuasaan yang paling langsung. Contohnya, seorang atasan memiliki kekuasaan atas para staf di bawahnya. Meskipun demikian, role power tidak selalu mengalir dari atas ke bawah. Seseorang bisa saja memiliki role power tambahan untuk suatu konteks tertentu, seperti mengepalai suatu proyek atau komite dan bekerja serta menerima masukan dari orang-orang dengan jabatan yang lebih tinggi.

Jika Anda termasuk ke dalam tipe peran tersebut, Anda mungkin memiliki kontrol terhadap proyek atau informasi berharga. Nah, cara terpasti untuk meningkatkan role power tentunya dengan meraih promosi. Akan tetapi, ada beberapa cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuasaan dari peran Anda sekarang.

Coba perhatikan tugas harian yang selalu Anda kerjakan. Apakah ada sesuatu yang terlihat lebih penting daripada yang lain? Apakah ada bagian dari pekerjaan Anda yang krusial dan benar-benar dibutuhkan perusahaan? Nah, berikan perhatian ekstra pada area tersebut. Anda bisa meminta atau menyarankan sesuatu yang berguna untuk area tersebut, meskipun hanya membuat excel spreadsheet untuk melihat data dengan cara berbeda.

2. Expert power
Expert power adalah kekuasaan yang berasal dari keahlian dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Beban pekerjaan yang Anda pikul berasal dari kualitas dari hasil serta pengetahuan yang Anda tunjukkan.

Pernahkah Anda berpikir, mengapa orang-orang di kantor lebih menghormati top salesman daripada orang-orang lain di tim penjualan? Dia memberikan bukti berupa hasil. Itu sebabnya, orang-orang menghargai dan mendengarkan opininya.

Nah, Anda pun secara tidak sadar telah meningkatkan expert power yang dimiliki sepanjang meniti karier. Orang cenderung memandang seseorang yang telah melakukan pekerjaan dalam jangka waktu lama sebagai yang lebih cerdas dan berpengalaman. Akan tetapi, orang juga akan memandang rendah seseorang yang melakukan hal sama bertahun-tahun dan terjebak di sana.

Oleh karena itu, Anda perlu bersikap dinamis. Pelajari berbagai keahlian baru dan perdalam pengetahuan tentang bidang yang Anda geluti. Jangan lupa untuk membawa angin segar berupa ide-ide baru yang potensial.

3. Relationship power
Relationship power adalah pengaruh yang dimiliki seseorang terhadap orang lain karena hubungan yang dijalinnya dengan mereka. Relationship power adalah apa yang terdapat di dalam hubungan, sehingga seseorang bersedia melakukan sesuatu untuk Anda.

Di antara ketiga kekuasaan yang ada, relationship power merupakan jenis kekuasaan yang paling mudah digunakan, karena setiap orang ingin rukun di tempat kerja dan segala sesuatu berjalan lancar. Meskipun Anda tidak ingin bersahabat dengan seseorang yang bekerja dengan Anda, setiap orang tentu ingin menjalani hari setenang mungkin. Saling tolong menolong, atau respon kilat terhadap permintaan informasi, bisa meningkatkan kekuatan sosial yang Anda miliki.

Ringan tangan dan berlaku manis setiap hari merupakan cara terbaik untuk meningkatkan relationship power seseorang. Tidak perlu menjadi penjilat, bersikap santai dan membantu orang lain sudah cukup. Ketika rekan kerja melakukan pekerjaan yang baik, berikan dia pujian.

Jangan lupa, setiap orang memiliki masalah. Suatu saat nanti, mungkin Anda yang membutuhkan bantuan. (*/OL-08)

Ibu Rumah Tangga Datangi Gedung DPRD Flotim


Laporan: Syarifah Sifat
SUMBER : POS KUPANG, Kamis, 8 April 2010 | 16:00 WIB

LARANTUKA,Pos Kupang.Com--Sejumlah ibu rumah tangga, Rabu (7/4/2010) mendatangi Balai Gelekat Lewotana menemui Komisi A DPRD Flores Timur (Flotim). Mereka meminta DPRD Flotim menyelesaikan pembagian jatah 300 perumahan yang dibangun khusus untuk eks korban bencana banjir di Postoh.

Para ibu rumah tangga tersebut menilai pembagian rumah yang dibangun pemerintah untuk korban bencana tidak adil karena sebagian orang mendapat jatah hingga empat unit, sementara sebagian lain cuma satu unit dan sebagian tidak dapat.

Ketua dan Sekretaris Komisi A DPRD Flotim ditemui usai menerima aspirasi masyarakat di Balai Gelekat Lewotana, Rabu (7/4/2010), mengaku telah menerima ibu-ibu warga Postoh korban banjir tahun 2003 lalu yang mengadu karena belum mendapat jatah rumah.

"Kami menerima aspirasi mereka (ibu-ibu Postoh) yang datang mengadu soal pembagian perumahan di Batuata. Kami sudah buat telaahan untuk pimpinan dan selanjutnya mengatur jadwal bertemu dengan pemerintah khususnya Bagian Ekbang dan Dinas PU," kata Ketua Komisi A, Ignasius Boli Uran, S.Fil, Sekretaris Komisi A, Maria Goreti Tokan, S.Sos dan anggota komisi, Josefina E. Bl de Rosari, kepada Pos Kupang, Rabu (7/4/2010).

Mereka menjelaskan, para ibu umumnya mengeluhkan pembagian jatah rumah yang tidak seimbang. "Ada pejabat tertentu mendapat tiga hingga empat unit rumah dan ada yang tidak dapat sama sekali. Sementara ada orang yang tinggal di Kalabahi dapat jatah rumah Batuata. Ini yang kita minta penjelasan dari pemerintah. Belum lagi soal surat keputusan yang dibuat beberapa kali. Kita akan minta penjelasan agar tidak menjadi masalah,"kata Maria Goreti Tokan, dan Josefina de Rosari.

Keduanya meminta pemerintah mengatur pembagian jatah perumahan Batuata secara jelas dan jujur sehingga masyarakat korban bencana merasa ada keadilan.

"Kalau rumahnya satu ya dapat satu. Nanti, kalau sudah dibagi dan ada kelebihan baru dibagi lagi kepada korban yang benar-benar kehilangan tanah tapi dalam rumah ada beberapa keluarga. Ini harus disaring sehingga tidak menjadi masalah," kata keduanya.
Josefina minta pemerintah menertibkan penghuni liar rumah yang belum dibagi sehingga ke depan tidak menjadi masalah. "Kalau ada penghuni liar sebaiknya ditertibkan sehingga ke depan tidak menjadi masalah," tambahnya. (iva)

PEREMPUAN DALAM BEBERAPA MASYARAKAT

Perempuan Minang

Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Kebudayaan Minangkabau oleh Yusrita Yanti, S.S., M.Hum.
Sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan, seorang perempuan yang menjadi Bundo Kanduang tidak hanya menjadi hiasan dalam bentuk fisik saja tapi kepribadiannya sebagai perempuan, kemudian ia harus memahami ketentuan adat yang berlaku, disamping tahu dengan malu dan sopan santun juga tahu dengan basa basi dan tahu cara berpakaian yang pantas. (Adat Budaya Minagkabau: http://palantaminang.wordpress.com/2008/05/09/peran-dan-kedudukan-perempuan-dalam-kebudayaan-minangkabau

Perempuan bali

Perempuan bali dalam kekinian harus pintar-pintar membagi waktu antara arus perubahan jaman, wanita tidak saja menjadi ibu rumah tangga saja tetapi terbuka untuk peran lainya yang tak terbatas. dibalik itu semua perempuan bali harus kembali ke “dapur” dalam arti luas, dapur untuk menyiapakan makanan bagi keluarga dan juga yang utama menyiapkan yadnya (korban suci) sehari-hari. Saya percaya perempuan bali adalah perempuan pilihan yang memiliki energi yang luar biasa, lakukan yang sebaik-baiknya dan menjadikan hidup berarti dalam pegabdian yang tulus,. Ketika arus kehidupan itu datang terimalah dan nikmatilah… (http://bali4u.wordpress.com/2007/05/18/perempuan-bali-sebuah-pengabdian/)

Perempuan Batak
Disamping mengurusi pekerjaan domestik rumah tangga, perempuan Batak terkenal gigih dan ulet bekerja untuk membantu suami mencari nafka.Bertani, mencari ikan, berdagang, mengajar, menjadi bidan, perawat,………ya, mereka ada dimana-mana (http://bersamatoba.com/tobasa/serba-serbi/124.html)

Perempuan Jawa
Dari masa tumbuh hingga besar di Jawa, ada tiga karakter yang saya tangkap dari umumnya perempuan jawa itu. Tangguh, bekerja keras, pantang menyerah, Hemat, tidak matre, mau hidup susah, Penurut, setia, lembut (http://3an.blogspot.com/2007/11/3-karakter-perempuan-jawa-masih-adakah.html)

Jumat, 16 April 2010

Tantangan Perempuan Adat Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/02/swara/3410095.htm

Pada 17-20 Maret 2007, di Pontianak berlangsung Kongres Ketiga Masyarakat Adat Nusantara (KMAN). Kongres pertama
diadakan di Jakarta pada 17 Maret 1999, karena itu 17 Maret diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat.

Selama kongres tahun 1999, masyarakat adat berunjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia menyuarakan masalah mereka.
Inilah suara masyarakat yang terbungkam-dibungkam selama puluhan tahun oleh kelompok arus utama, termasuk
negara.

Hampir seluruh konflik sumber daya alam di Indonesia melibatkan mereka karena tidak diakuinya keberadaan mereka
sebagai masyarakat adat yang memiliki sistem pemerintahan khas dalam mengatur kehidupan, termasuk kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam.

Penguasaan dan kontrol negara terhadap sumber daya alam didasari salah tafsir negara atas Konstitusi. Kewajiban
negara atas tata kelola dan distribusi yang adil justru dimaknai sebagai hak atas kontrol dan kepemilikan (disebut "hak
menguasai negara"). Bumi, air, ruang, angkasa, dan kekayaan alam diperlakukan sebagai aset produktif yang dapat
dikomersialkan tanpa mempertimbangkan cita-cita mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Marjinalisasi ganda

Lahirnya korporasi besar berbasis sumber daya alam berimbas pada penguasaan ruang hidup masyarakat adat.

Keadaan hutan Indonesia mencapai titik kritis. Pembukaan hutan komersial melalui HPH dan HTI menciutkan hutan
primer Indonesia dari 160 juta hektar menjadi 48 juta hektar tahun 2006 (FWI, 2001).

Sebanyak 35 persen tanah di Indonesia diperuntukkan bagi industri tambang ekstraktif. Sampai tahun 2004, terjadi 890
kontrak kepada perusahaan pertambangan skala besar seperti mineral, emas, dan batu bara dalam kawasan hutan
primer (Jatam, 2004).

Proses pembangunan mengakibatkan marjinalisasi ganda terhadap perempuan adat. Pertama, peminggiran oleh
kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam berdampak pada
penyingkiran peran dan ruang perempuan adat dalam komunitasnya.

Kedua, perempuan adat tidak memiliki akses atas pengambilan keputusan di semua tingkatan. Keputusan penting yang
memengaruhi keberlangsungan masa depan keluarga dan komunitas, termasuk keputusan terhadap perempuan adat,
diambil tanpa melibatkan mereka.

Industrialisasi mendorong munculnya kelas sosial baru di masyarakat. Pemilikan komunal yang umum di masyarakat
adat berubah menjadi pemilikan individual. Pertarungan ini menyingkirkan perempuan dari wilayah kelolanya dan
menyingkirkan sistem sosial yang mengatur fungsi dan peran perempuan adat dalam pengelolaan sumber daya alam
(Anggraini, 2006).

Kemiskinan juga menyebabkan mereka harus bergelut memenuhi kebutuhan makanan yang tidak lagi bisa disandarkan
pada wilayah kelola yang dirampas pembangunan. Ketergantungan pada uang tunai begitu tinggi sehingga petani
terpaksa melepaskan tanah karena jeratan utang.

Kesaksian Bu Mar dari Kampung Sekerat, Kalimantan Timur, meneguhkan gambaran di atas. "Dulu kami tidak perlu
susah. Jika para lelaki bepergian, kami tetap dapat makan karena beras dan sayuran tersedia. Jika ingin ikan, kami hanya
mengambil dari kolam."

Tambang dan pabrik di wilayah masyarakat adat menyisakan persoalan limbah. Kesehatan reproduksi perempuan adat
paling rentan terpapar limbah tersebut. Situasi ini juga berakibat pada anak-anak yang akan dilahirkan dan hewan ternak
yang akan dikonsumsi. Fasilitas hiburan dari perusahaan mendorong migrasi dan meningkatkan praktik perdagangan
perempuan untuk industri seks akibat berkembangnya prostitusi yang melibatkan perempuan adat dan pekerja seks luar
pulau.

Kehilangan wilayah kelola memaksa perempuan adat bekerja pada perusahaan ekstraktif. Mereka rentan diskriminasi,
bahkan kekerasan seksual. Jatam mencatat 17 dari 21 kasus hukum dalam kurun tahun 1987-1997 adalah pelecehan
seksual, pemerkosaan, atau hubungan seksual di bawah tekanan psikologis oleh karyawan PT KEM terhadap perempuan
adat yang bekerja di perusahaan tersebut.


Pengakuan

Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada pemenuhan hak asasi dengan meratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1984, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
dan Kovenan Hak Sipil dan Politik pada tahun 2005.

Dengan meratifikasi, artinya Indonesia mengakui masih terjadi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
termasuk perempuan adat. Juga mengakui eksistensi masyarakat adat dengan menghormati hak menentukan nasib
sendiri, termasuk status politik dan kebebasan mengejar perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka, seperti
termuat dalam Pasal 1 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Tentu saja pengakuan formal tersebut masih samar dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Karena itu, sesi
perempuan adat dalam KMAN menjadi penting sebagai tempat perempuan adat dari berbagai wilayah di Indonesia
berkumpul untuk mengekspresikan pendapat dan mengejar perkembangan ekonomi sosial budaya menurut definisi
mereka sendiri.



Arimbi Heroepoetri Komisioner Komnas Perempuan

Senin, 12 April 2010

Lima Abad Semana Santa Larantuka

SUMBER : KOMPAS Sabtu, 3 April 2010 | 04:23 WIB

Samuel Oktora dan Kornelis Kewa Ama

Jumat (2/4), hari masih pagi. Namun, umat Katolik di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, dan sekitarnya sudah datang berbondongbondong ke Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana untuk mencium patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Yesus Kristus).

Siang harinya, umat juga berbondong-bondong mengantar Tuan Tido (patung Yesus wafat disalib) melalui laut dari Kapela Tuan Meninu ke Pantai Kuce di Pohon Sirih dalam prosesi Semana Santa.

Uskup Larantuka Monsinyur Fransiskus Kopong Kung Pr untuk pertama kalinya dalam sejarah ikut mengantar patung Tuan Tido lewat prosesi laut itu. Sebelumnya, pengantaran dilakukan, antara lain, oleh tua-tua suku setempat bersama bupati.

Jumat siang, sekitar pukul 14.00 Wita, umat mengantar Tuan Ma dan Tuan Ana ke Gereja Katedral, dilanjutkan dengan misa wafatnya Isa Almasih, pukul 15.00. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro hadir dalam misa tersebut.

Malam hari sekitar pukul 20.15, puluhan ribu umat dalam suasana hening dan khusyuk dihiasi cahaya lilin yang menerangi gelap malam berjalan mengelilingi kota. Arak-arakan dimulai dari Gereja Katedral, berkeliling, lalu kembali ke Gereja Katedral dan berakhir dini hari.

Malam itu umat beriringan di belakang sebuah peti yang berisi patung jenazah Yesus, disusul patung Tuan Ma, dilengkapi sejumlah salib dan patung-patung yang semuanya peninggalan Portugis sekitar lima abad lalu. Bagi orang Nagi, julukan orang Larantuka, Semana Santa merupakan hari yang penuh rahmat (hari bae).

Peziarah dari luar Nusa Tenggara Timur (NTT), bahkan luar negeri, juga berdatangan ke Larantuka untuk mengikuti devosi Bunda Maria ini. Apalagi tahun ini bertepatan dengan perayaan lima abad Tuan Ma.

Asal-usul

Kepercayaan terhadap Tuan Ma berawal lima abad silam. Berdasarkan penelitian dan sejumlah sumber tertulis dalam bahasa Belanda dan Portugis, patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510 di Pantai Larantuka. Diduga, patung itu terdampar saat kapal Portugis atau Spanyol karam di Larantuka.

Konon, saat itu seorang anak laki-laki bernama Resiona menemukan patung berwujud perempuan saat mencari siput di Pantai Larantuka.

Resiona mengaku, kala itu dia melihat perempuan cantik dan, ketika ditanya nama serta dari mana datangnya, perempuan tersebut hanya menunduk lalu menulis tiga kata yang tak dipahami Resiona di pasir pantai. Setelah itu, ketika mengangkat mukanya, rupa wanita itu berubah menjadi patung kayu.

Ketiga kata yang ditulis itu lalu dibuatkan pagar batu agar tidak terhapus air laut, sedangkan patung setinggi tiga meter tersebut langsung diarak keliling kampung, memasuki korke, rumah-rumah pemujaan milik setiap suku di sana.

Kendati waktu itu masyarakat setempat belum mengenal patung tersebut, kepala kampung Lewonama, Larantuka, memerintahkan agar patung disimpan di korke. Patung kemudian dihormati sebagai benda keramat. Penduduk memberi sesaji setiap perayaan panen.

Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harfiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama. Masyarakat Lamaholot menyebutnya, Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit dan Dewi Bumi.

Menurut Raja Larantuka Don Andreas Martinho DVG, sekitar tahun 1510 itu masyarakat Larantuka sudah melakukan devosi kepada Tuan Ma setiap Februari, sebagai syukur atas hasil panen dan tangkapan dari laut. Devosi merupakan kegiatan di luar liturgi gereja, praktik-praktik rohani yang merupakan ekspresi konkret keinginan melayani dan menyembah Tuhan melalui obyek-obyek tertentu.

Ketika padri dari Ordo Dominikan datang ke kampung itu lalu diminta membaca tiga kata yang ”diabadikan” itu, terbaca: Reinha Rosario Maria.

Ketika melihat patungnya, padri itu terharu dan berkata bahwa itulah Reinha Rosari yang dikenal juga sebagai patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan atau Mater Misericordia.

Sekitar tahun 1561, penyebaran agama Katolik oleh Portugis dimulai di Pulau Solor, yang kemudian dikenal misi Solor dengan menetapnya tiga misionaris, yaitu Pater Antonio da Cruz OP, Simao das Chagas OP, dan Bruder Alexio OP, di sana.

Tahun 1617, misionaris Portugis Pastor Manuel de Kagas berhasil memberi masukan pemahaman kepada raja-raja Larantuka. Dia menjelaskan, ”Tuan Ma yang disembah itu sebenarnya bernama Bunda Maria. Dia yang memiliki putra yang disebut Yesus Kristus. Yesus ini sebagai penebus dosa dan pembawa keselamatan”. Sejak itulah orang Larantuka yakin apa yang mereka sembah selama itu ternyata diakui secara universal.

Tahun 1650, Raja I Larantuka Ola Adobala dibaptis dan menyerahkan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Setelah itu, putranya, Raja Don Gaspar I, pada 1665 mulai mengarak patung Maria keliling Larantuka.

Dalam perkembangannya, Raja Don Lorenzo I bersumpah kepada Maria atau Tuan Ma dengan memberi gelar tertinggi kepada Maria sebagai raja orang Larantuka.

Oleh karena itu, Larantuka disebut sebagai Kota Reinha (bahasa Portugis) atau Kota Ratu, Kota Maria. Tuan Ma kemudian diyakini sebagai Bunda Maria milik orang Larantuka. Devosi kepada Maria menjadi sentral hidup keluarga dan masyarakat Larantuka. Per Mariam ad Jesum, melalui Maria kita sampai kepada Yesus.

Proses inkulturasi pun terjadi antara kepercayaan masyarakat lokal, ajaran gereja, dan tradisi yang dibawa Portugis.

Belajar dari Nilai-nilai HAM Masyarakat Adat Lamaholot


SUMBER : http://www.satudunia.net
Penulis:
Kuswoyo
Selama ini kita memahami konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) berasal dari dunia barat. Hal ini dapat terlihat di dalam undang-undang HAM yang mengadopsi dari Universal Declaration of Human Right 1948 serta ditambah hak mengenai informasi yang diadopsi dari International Covenant on Civil and Political Right .

Namun jauh di dalam masyarakat komunal, di Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, dimana penduduknya masih berburu ikan hiu, terdapat nilai-nilai lokal yang menerapkan pemahaman mengenai HAM namun dengan bahasa yang berlainan.

HAM dalam perspektif masyarakat Adat Lamaholot memiliki kekhasannya sendiri yang berbeda dengan konsepsi HAM kontemporer. Perbedaan HAM dari barat bertumpu pada individu sementara HAM dalam masyarakat komunal lebih menekankan pada kolektivitas.
Selain itu, hak asasi manusia di dalam masyarakat komunal ditafsirkan menjadi sebuah kewajiban ketimbang sebuah hak. Misalnya hak atas hidup, dalam masyarakat Adat Lamaholot menjadi sebuah kewajiban memelihara hidup. Hak kebebasan berkumpul dan berserikat serta mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan dipersepsikan sebagai kewajiban menjalankan peran sesuai bakat dan tanggung jawab.

Tetapi menekankan kewajiban bukan berarti mengabaikan hak. Masyarakat komunal menganggap bahwa hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban, karenanya pemenuhan kewajiban akan berdampak pada hak.

Pemikiran lokal ini terkuak dalam peluncuran buku dan diskusi yang berjudul 'Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal', kajian atas konsep HAM dalam teks-teks Adat Lamaholot dan relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945. Acara ini diselenggarakan oleh Komnas HAM dan penerbit buku Lamalera (23/5) baru-baru ini.

Hadir sebagai pembahas buku tersebut adalah Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM, Dr. Adhi Santika dari Balitbang di Depkumham, dan Safroedin Bahar, pakar masyarakat adat.

Narasumber menyambut baik studi dalam buku ini, karena buku mengenai masyarakat adat masihlah sulit untuk ditemukan. Terlebih ini merupakan studi dimana pemikiran adat mengemuka dan mengkaji mengenai pemahaman HAM masyarakat komunal.

Buku yang ditulis oleh Marianus Kleden seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang merupakan hasil penelitian mengenai teks-teks Adat di Lamaholot. Sebuah tesis sekaligus muncul dilatarbelakangi oleh sebuah kegelisahan atas HAM di Indonesia dimana penegakkan dan perlindungan mengenai HAM masih jauh dari harapan.

Buku ini pula yang mengangkat konsepsi lokal menjadi sebuah wacana nasional. Sang penulis buku, yang juga adik kandung Ignas Kleden ini berharap bukunya dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan, bahwa pemikiran lokal dapat masuk dan diadopsi menjadi sebuah kebijakan nasional. Karena kebijakan yang lahir dari pemikiran masyarakat lokal jauh lebih efektif dalam pelaksanaannya ketimbang yang berasal dari luar negeri.

Praktik Kehidupan di Pulau Adonara


SUMBER : Kompas Senin, 25 September 2006
Budaya

Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.

Salah satu tokoh masyarakat Adonara, Oka Corebima, di Waiwerang, pekan lalu, mengatakan, meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.

Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores Timur (Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu.

“Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis,” kata Corebima.

Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat.

Meski di Adonara atau Flores Timur tidak memiliki gajah, kaum pria tidak pernah gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah.

Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari.

Ketua Adat Desa Demondei, Adonara Barat, Frans Duli mengatakan tidak ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah.

Lima jenis
Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa sampai siku), ina umene (setengah depan sampai batas bahu), dan opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah).

Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan.

Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa, satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).

Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.

Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.

Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.

Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan.
Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.
Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok.
Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian.
Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut.

Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali.

Gading dalam bahasa Lamaholot disebut “bala”. Saat ini jumlah gading yang beredar di Pulau Adonara, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara.
Elias Laga Kelake (58), pemilik 10 batang gading di RT 18 RW 2 Waiwerang, Adonara Timur, mengatakan, hampir setiap hari ada orang datang ke rumahnya membeli gading. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya.

Elias menuturkan, di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading tersebut.

Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas.
Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam.

Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum menggunakan gading, perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli seorang gadis. Pengantin pria harus membeli pengantin wanita dengan sejumlah uang Belanda dan budak. (KOR)

M. Sarina Roma Kia, Menembus Tradisi Lamaholot

SUMBER : http://www.kabarindonesia.com

Oleh : Mansetus Balawala | 11-Sep-2009, 23:03:03 WIB
KabarIndonesia - Tegas dan berwibawa dalam menjalankan tugas, itulah sosok M. Sarina Roma Kia. Demikian nama lengkap ibu lima anak ini. Masyarakat Flores Timur tahu dan kenal sosok ibu berperawakan gemuk tinggi ini. Hal ini bisa jadi karena beliau adalah Polwan pertama yang lahir dari perut bumi Lamaholot (sebutan untuk Flores Timur-Lembata).

Meski di zamannya, budaya patriarkhit begitu kuat melekat, namun Sarina kecil tampil percaya diri. Ia mampu membuktikan dirinya menembus sekat budaya yang memandang perempuan adalah manusia kelas dua. Karena itu akses perempuan ke segalah hal sangat dibatasi. Orang tua selalu menomorsatukan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Karena itu, tidak mengherankan ketika ia mengutarakan niatnya untuk menjadi Polwan, Isteri dari Simon SE, EMT ini mendapat tantangan dari ayahnya, Hermanus Romakia. Konon kedua neneknya melarang Erna, demikian nama populernya untuk melanjutkan studi. Apalagi harus menempuh pendidikan Polwan.

Kepada Nucalele yang mendatangi kediamannya di Kelurahan Lokea, Larantuka, Erna mengisahkan bahwa sikap keras kepala kedua neneknya saat itu karena mereka takut kehilangan gading (maskawin untuk perempuan Lamaholot).

“Nenek saya memang tidak mau saya sekolah apalagi menjadi Polwan. Mereka takut kehilangan gading. Pemikirannya sederhana. Jika saya sekolah dan keluar dari daerah, mereka takut saya mendapat jodoh orang dari daerah lain yang mungkin saja bisa memberikan maskawin kepada saya tidak dalam bentuk gading. Ini yang menjadi ketakutan opa dan oma saya waktu itu,” kenang Erna.

Menghadapi kemauan ayahnya yang demikian, Erna kecil tak putus asa. Cita-citanya menjadi Polwan yang diimpikannya sejak kecil akhirnya terwujud juga. Ia berangkat ke Kupang mengikuti pendidikan setelah melalui dua kali tes, baik di Kupang maupun di Jakarta sekitar tahun 1980.

Lantas bagaimana dengan kedua orangtua ayahnya yang saat itu bersikeras melarang Erna menjadi Polwan? Erna dengan diplomatis mengatakan, kakek dan neneknya akhirnya bangga juga ketika dirinya berhasil menempuh pendidikan Polwan dan kembali ke Waiwerang, Adonara. Saat itu tidak saja orang tuanya merasa bangga. Tetapi para guru di SMA Syuria Mandala Waiwerang pun bangga dengan prestasi yang diraihnya. Hal itu dibuktikan sekolah itu dengan mengirim Kepala Sekolah, Oka Korebima untuk turut menjemput Ibu lima anak ini. Korebima kemudian mengajaknya ke sekolah untuk memotivasi siswa/i di sekolah yang menjadi almamaternya itu untuk bisa menjadi Polwan.

Menjadi Polwan bukanlah sebuah perkara mudah. Banyak hal yang mesti diatur. Setelah sekian lama mengabdi di Flores Timur, ia menilai kesadaran berlalu lintas masyarakat Flores Timur umumnya masih sangat rendah. Hal ini terbukti dari banyak pengendara yang belum menaati aturan dan rambu lalu lintas. Sebagai contoh, masih banyak orang yang mengenakan helm karena takut ditilang polisi dan bukan karena kesadaran sendiri.

Penilaian Erna ada benarnya karena selama menjadi polisi, ia hampir bertugas di semua bagian. Apalagi bagian lantas. Hampir setiap hari Erna berada di jalanan mengatur lalu lintas. Terkadang ia berada di antara barisan penjemput pejabat negara yang datang, dia juga selalu berada di antara kerumunan massa demonstran yang menentang kebijakan pemerintah. Semua itu dia jalani dengan sungguh-sungguh.

“Karena menjadi Polwan itu adalah cita-cita saya dari kecil, maka selama bertugas saya lebih banyak mendapatkan suka citanya dari pada duka citanya. Suka citanya bahwa masyarakat Flores masih menaruh pengharagaan dan kepercayaan yang tinggi terhadap Polisi. Tetapi sebagai seorang perempuan, saya juga tentu mengalami dukanya menjadi seorang wanita karier. Betapa tidak, saya juga harus mengurus anak-anak dan suami. Tapi itulah, di saat ada panggilan tugas, perhatian saya terhadap keluarga mau-tidak mau ditinggalkan meski untuk sementara. Tetapi semuanya berjalan baik berkat saling pengertian dalam keluarga,” tutur Erna yang pernah mengikuti Kursus Keterampilan (Susjur) Komputer bersama 21 Polwan dari daerah lainnya di Jakarta ini.

Sebagai Polwan yang sudah bertugas selama 28 tahun, ia tentu memiliki segudang pengalaman. Tamat pendidikan Polwan tahun 1981, ia pernah bertugas sebagai staf operasi Kapolri (saat itu) saat itu dipegang oleh Jend. Polisi Awaludin Jamin selama 13 tahun. Tahun 1992 Erna ditugaskan ke Polres Flores Timur. Selama empat tahun bekerja, tepatnya pada 1996, ia kembali dimutasi ke Polda Jawa Barat dan kembali lagi ke Polres Flores Timur tahun tahun 2002 hingga saat ini dengan jabatan yang disandang Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Dengan moto “Katakan benar bila benar dan salah jika salah” ia mampu bekerja sama dengan tim di PPA. (*)

Perempuan Lamaholot dan Devosi kepada Maria



SUMBER : http://www.misacorindo.org/hatibaru

Flores Timur (Flotim) merupakan sebuah kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meliputi Flores Timur daratan, Pulau Adonara dan pulau Solor. Secara geografis, Flores Timur terletak di belahan paling Timur Pulau Flores. Seperti daerah NTT lainnya, wilayah ini bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan diselingi dataran rendah yang terdapat di antara kaki-kaki gunung dan kaki bukit. Flores Timur dikenal sebagai wilayah kesatuan adat-budaya Lamaholot dengan menggunakan bahasa Lamaholot sebagai bahasa adat-budaya.

Masyarakat Lamaholot selain menyebut dirinya sebagai masyarakat adat juga dikenal sebagai masyarakat devosional. Secara khusus, masyarakat Lamaholot mempunyai praktik devosi kepada Maria Reinha Rosari yang dipercaya menjadi pelindung kota Larantuka sejak zaman kerajaan. Praktik devosi kepada Maria telah hidup selama ratusan tahun di sini. Tidak bisa dipungkiri bahwa ajaran Katolik yang tertanam sejak ratusan tahun ini ikut membentuk dan mempengaruhi hidup mereka.

Praktik devosi kepada Maria sebagai salah satu warisan rohani yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang dan pengaruhnya atas sikap masyarakat terhadap kaum perempuan. Agama Katolik di Flores Timur pertama kali diperkenalkan oleh kapal dagang Portugis yang di dalamnya terdapat rohaniwan Dominikan pada tahun 1550-an. Raja Larantuka Djuan Resindo pada masa itu merupakan salah satu di antara umat pertama yang memilih menjadi Katolik dan memberikan diri dibaptis. Cuaca yang buruk saat itu membuat kapal dagang Portugis terpaksa singgah di Benteng Lohayong (Solor) tahun 1556. Persinggahan sementara itu tidak hanya digunakan untuk membeli kayu cendana, tetapi juga digunakan untuk memperkenalkan agama Katolik kepada penduduk pribumi.

João Soares, salah satu saudagar Portugis berhasil membaptis penduduk pribumi jauh sebelum kedatangan misionaris Dominikan P. Antonio da Cruz OP. Apa yang telah dibuat oleh para saudagar Portugis itu selanjutnya diteruskan oleh misionaris Dominikan dengan mendirikan Misi di kepulauan Solor.

Keadaan yang tidak kondusif bagi pengembangan hidup kristiani umat semakin diperparah ketika April 1613, di bawah komando Appolonius Scotte dengan kapal VOC de Halve Maen, Benteng Lohayong (Solor) ditembaki, dibakar dan ditaklukan. Pengambilalihan Benteng Lohayong dari Portugis ke tangan VOC Belanda ini mengakibatkan enam misionaris dan 30 orang tentara Portugis dipulangkan ke Malaka. Sedangkan P. Agustina da Magdalena OP dan seorang awam Fransiskus Fernandez memimpin rombongan pengungsi ke Larantuka. Peristiwa ini sekaligus menjadikan Larantuka sebagai pusat umat Katolik di Flores Timur.

Meskipun terjadi kekosongan imam, namun masyarakat pribumi tetap berusaha menjaga dan mempertahankan imannya. Conferia (sebuah organisasi dalam Gereja) yang dibentuk pada masa misionaris Dominikan menjadi sarana utama meneruskan iman dengan tradisi prosesi Maria dan doa rosario dalam bahasa Portugis bercampur Melayu.

Salah satu warisan rohani peninggalan Misionaris Dominikan di keuskupan ini adalah praktik devosi kepada Maria dalam Prosesi Semana Santa (Pekan Suci). Semana Santa merupakan devosi untuk memperingati sengsara dan wafat Yesus Kristus. Prosesi ini mempunyai akar pada tradisi Portugis yang sangat kuat.

Devosi kepada Maria

Kedekatan hubungan manusia dengan Wujud Tertinggi dalam diri perempuan (ibu) pada agama asli (agama suku) Lamaholot, dalam Gereja Katolik terlihat pada pribadi Maria.

Tradisi Gereja Katolik menempatkan Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos) dalam Misteri Kristus dan Gereja. Maria sebagai Theotokos menjadi tanda kepenuhan kesempurnaan dari apa yang menjadi sifat seorang wanita, apa yang menjadi ciri kewanitaan. Maria memainkan fungsi kepengentaraan antara manusia dan Puteranya.

Masyarakat Lamaholot mengakui dan menghormati Maria dengan sapaan Tuan Ma atau Tuhan dan Ibu yakni Ratu satu-satunya dan Ibu Larantuka. Sebagai Hamba dan Ibu Tuhan, sikap melayaninya ikut berperan dalam karya penebusan. Bagi masyarakat dan budaya manusia, melayani bukan bawaan yang menonjol. Devosi tradisional kepada Maria pun tidak terlalu diwarnai oleh bukti pelayanan kristiani. Maka perlu disadari devosi yang benar kepada Santa Maria.

Gereja melalui Konsili Vatikan II mengajak umat beriman untuk meneladan Maria yang telah melayani karya penyelamatan dengan sempurna, sebagai Bunda Penebus dan Hamba Allah.

Sebagai Bunda Penebus, Maria menduduki tempat khusus dalam rencana karya Keselamatan. Hubungan Maria dengan sang Putera terjalin bukan saja dalam keibuan jasmani, tetapi juga dalam keibuan rohani. Artinya Maria menyetujui, menerima tanpa syarat dan mendukung kehadiran Puteranya, hidup dan karya penyelamatan Puteranya bukan saja pada awal panggilannya. Di bawah bimbingan dan kekuatan Roh Kudus, ia turut berperan bersama Puteranya.

Iman dan kesucian Maria bertumbuh dan berkembang terus melalui doa dan renungan hidup, karya dan kurban mulai dari Nazareth sampai Kalvari dan dalam masa penantian sampai Tuhan datang menjemputnya.

Tradisi Gereja dalam Konsili Vatikan II menegaskan persatuan erat dengan Maria dengan Puteranya dan dengan Gereja. Dia merupakan pralambang Gereja dalam iman, cintakasih dan persatuan sempurna dengan Kristus

Simbol perempuan

Tujuan pelayanan Maria adalah membawa Kristus Penyelamat ke dunia. Prosesi Maria Dolorosa di Larantuka dan beberapa daerah lainnya ditempatkan dalam kerangka kesetiaan Maria untuk menemani perutusan Sang Putera. Maria ikut menanggung penderitaan Yesus sekaligus membenarkan seluruh perutusan Yesus ke dunia.

Devosi kepada Santa Maria sebagai Reinha Rosari mempunyai sejarah dan tradisi yang panjang dalam masyarakat Flores Timur. Selama 400 tahun lebih masyarakat Larantuka dan sekitarnya melangsungkan sebuah prosesi Semana Santa (pekan suci Paska). Prosesi ini berintikan penyertaan dan devosi kepada Maria Dolorosa (Maria Berdukacita) yang kehilangan Yesus; Putranya yang mati demi penebusan dosa. Masyarakat Larantuka menyebut patung Maria Dolorosa dengan sebutan Tuan Ma.

Sementara peti mati Yesus dinamakan Tuan Ana. Patung Tuan Ma dan Tuan Ana hanya diperlihatkan sekali setahun. Tentang keberadaan patung Tuan Ma dan peti mati Tuan Ana sampai ke Larantuka mempunyai banyak versi mistis. Ada yang mengatakan kedua patung itu mengapung di laut, dari kapal milik para misionaris Dominikan yang karam. Ada yang mengatakan dahulu penduduk menyaksikan seorang wanita berkulit putih tiba-tiba muncul di pantai, menulis dengan kulit kerang di tanah: Reinha Rosari Maria, Maria sang Ratu. Selama prosesi Semana Santa, perempuan Lamaholot seperti Mama Muji berperan besar dalam menciptakan dan memberikan suasana khidmat kepada peziarah.

Di samping berkat dengan salib dan renungan di setiap armida (perhentian), nyanyian O Vos (nyanyian ratapan) menjadi salah satu bagian penting selama prosesi berlangsung. O Vos dilakukan oleh seorang perempuan. Dengan berbusana dan berkerudung serba biru, perempuan itu naik ke bangku kecil. Di pinggir jalan ia melafalkan O Vos dengan intonasi yang begitu miris. Sambil bernyanyi, ia perlahan-lahan membuka sebuah gulungan. Tampak gambar Ecce Homo, simbol wajah Yesus bermahkota duri yang terukir dalam kain kafan. Ia memutar tubuhnya menghadap setiap arah perjalanan prosesi. Tangannya menunjuk wajah Yesus seolah-olah ingin menerangkan betapa menderitanya Putra Maria itu.

Perempuan itu menyimbolkan Veronika, seorang perempuan Yerusalem yang dulu mengikuti penyaliban Yesus di Bukit Golgota. Tak dapat menahan emosi melihat penderitaan Yesus, Veronika menyerobot maju dari kerumunan manusia mendorong para algojo dan dengan berani mengelap wajah Yesus yang tengah bercucuran darah. Seketika di atas kain langsung tercap wajah Yesus.

Sementara di depan peti mati Tuan Ana, berjalan para ibu berkerudung hitam membawa kain besar berwarna hitam yang digelombang-gelombangkan di atas kepala mereka. Mereka adalah lambang para perempuan Yerusalem, satu-satunya kaum yang berani menyatakan perasaan duka atas kematian Yesus. Di antaranya adalah Maria Magdalena, Maria Kleopas dan Maria ibu Yakobus – salah satu murid Yesus.

Pengaruh Devosi

Praktik devosi kepada Maria dalam masyarakat Lamaholot telah mempengaruhi hidup mereka. Sikap keterbukaan Maria untuk berkorban telah mengembangkan sikap kesetiaan perempuan Lamaholot dalam menghadapi segala macam situasi. Prosesi Maria Dolorosa seperti mewakili gambaran yang ada pada diri perempuan di sana. Perempuan Lamaholot mampu untuk setia dengan tabah menderita, sabar melayani, mengasihi kehidupan dan memiliki keterbukaan karena menghayati spiritualitas Maria.

Praktik devosi kepada Maria memperlihatkan sikap penghargaan dan penghormatan masyarakat kepada kaum perempuan. Masyarakat Lamaholot memandang kaum perempuan sebagai yang sungguh istimewa. Keistimewaan mereka terletak pada kedekatan hubungan mereka dengan Allah yang oleh masyarakat Lamaholot disebut Lera Wulan Tana Ekan. Kedekatan mereka dengan Allah telah menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam praktik devosi kepada Maria, keberadaan perempuan Lamaholot justru menjadi pencipta keheningan dan kekhidmatan bagi para peziarah. Doa dan nyanyian yang mereka bawakan semakin membantu para peziarah untuk mengalami kedekatan dalam berelasi dengan Allah. (ST, Erick, Markus)

SEMESTINYA TAK TERJADI


Tak semestinya terjadi. Sahabatku sudah dua malam meninggalkan rumah. Baginya rumah sudah tidak lagi memberikan kenyamanan. Setiap kali menginjakan kaki di rumah selepas kerja, anak-anak merengek sementara suaminya yang tiga tahun sudah dirumahkan langsung meminta dibuatkan kopi.

Sudah dibikin Kopi, kini suaminya menyuruh membelikan rokok. Rokok sudah dibelikan, suaminya minta lagi untuk yang lainnya sampe mengepel dan menyetrika baju. Apalagi anak-anak. Menurutnya, kepulangannya ke rumah hanyalah kerinduan anak-anak agar ada orang yang bisa mengatasi masalah mereka. dari mengumpulkan mainan yang berantakan, hingga memandikan dan menyiapkan makanan.

Hidup yang terus terjadi begitulah yang dialaminya. Maka ketika suaminya mempersoalakan hal yang tak mungkin dipenuhnya, ia pun angkat bicara. Bicara konon kabarnya tak disukai laki-laki. Seperti ceritra jaman dulu, serdadu menghukum orang bercemuran, tanpa suara itu yang dikehendaki suaminya.

Tapi apa mau dikata. Mulut tak lagi mampu terkunci. Kelu kesah hanya diakhiri air mata, ketika suaminya menamparnya. Semenjak itu, pergi dia meninggalkan rumah. Pergi dengan kekesalan, juga penyesalan. Tak mampu ia berkata lebih, kecuali bayangan pulang ke rumah berarti pulang menjemput masalah.

Keadilan kah yang dibicarakan? Atau justru saling menghargai itu yang jauh lebih penting? Atau justru, pekerjaan dan uang serta materi yang mesti diperjuangkan? Semestinya tak terjadi. Tapi biarlah kemerdekaan membawanya pada kesunyiaan. Dan kesunyian membawa kerinduan untuk pulang berserah diri.

kira-kira begitulah kalau pingin nulis sesuatu dari suatu yang baru terjadi.

Untukmu... ya untuk mu

Apolonia Dhiu P2TP2A Propinsi NTT Dikukuhkan

SUMBERabu, 10 Maret 2010 | 15:59 WIB


Hadir pada kesempatan itu, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT, dr. Yovita Anike Mitak, MPH, Sekretaris Komisi D DPRD NTT, Ir. Emi Nomleni, Ketua P2TP2A Porpinsi NTT, Ince Pello, dan puluhan pengurus lainnya.

Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, dalam sambutannya, mengatakan, peringatan Hari Perempuan Sedunia diintegrasikan dengan pengukuhan pengurus P2TP2A Propinsi NTT yang sudah direncanakan oleh Biro Pemberdayaan Perempuan sejak setahun yang lalu.

Pemerintah propinsi, katanya, memberikan apresiasi kepada pengurus dan harus segera mengambil langkah-langkah strategis dalam mengatasi persoalan yang dihadapi kaum perempuan di daerah ini. Perempuan bukan lagi nomor dua atau selalu ada di bekalang, melainkan memiliki kesamaan hak dan kewajiban dalam segala bidang sebagai salah satu perwujudan Hak Asasi Manusia (HAM).

Foenay mengatakan, jika dipotret lebih jauh, fenomena perkembangan perempuan di Indonesia sudah cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat pada partisipasi perempuan dalam berbagai bidang. Di bidang pemerintahan, sudah ada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk tingkat pusat, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan untuk tingkat propinsi dan di kabupaten/kota ada Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan. "Memang tidak ada Menteri Negara Pemberdayaan Laki-laki.

Bukan untuk membanding-bandingkan, tetapi harus diakui kalau pemberdayaan perempuan memang harus tetap dilakukan. Banyak juga di bidang lintas sktakeholder peran perempuan sangat dibutuhkan," katanya.

Selain itu, katanya, pengakuan terhadap perempuan juga terlihat semakin jelas dengan adanya Hari Ibu dan Hari Anak yang dirayakan setiap tahun.

Di bidang pendidikan, adanya keputusan pemerintah tentang pemberian beasiswa kepada siswa perempuan sebesar 60 persen dan laki-laki 40 persen, pemberian makanan tambahan bagi anak perempuan 60 persen dan laki-laki 40 persen.

Di bidang legislatif, adanya kuota 30 persen kepada perempuan dan di bidang lainnya seperti di Kepolisian ada Polisi Wanita (Polwan), Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal), Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), Wanita Angkatan Udara (Wara), Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Dharma Wanita, PKK, P2TP2A dan lembaga kerohanian.

Menurutnya, representasi pengakuan terhadap perempuan ini dimaksudkan agar kesejahteraan perempuan dan anak lebih ditingkatkan meskipun fakta menunjukkan perempuan dan anak belum sejahtera.

Ada empat penyakit sosial yang ujungnya membuat perempuan dan anak terpuruk, antara lain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), narkoba, minuman keras (miras) dan HIV/AIDS. (nia)

Alfred Dama Nelcy Pelandou, Perempuan Penulis Terbaik

SUMBER : POS KUPANG, Jumat, 26 Maret 2010 | 19:32 WIB

Lomba yang diselenggarakan Forum Kebijakan Nusa Tenggara Timur (NTT) ini diikuti 57 perempuan dari berbagai daerah di Timor barat. Sebanyak 15 peserta dinyatakan masuk ke babak final oleh tiga anggota tim juri , yaitu Jemfris Foentuna dari unsur pers, Olyvianus Dadi Lado dari NTT Policy Forum (PF) dan Dhanny Wetangterah dari Oxfam Great Britain (GB).

Juara II dalam diraih Vinsensia CL Kali dari Desa Bakustulama, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, dan jura III diraih Jois Jacob dari Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Peraih juara I berhak mendapat hadiah uang Rp 1,5 juta, juara II Rp 1 juta, dan juara III Rp 0,5 juta.

Moderator NTT PF, Winston Rondo dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini merupakan semangat besar dari NTT PF bersama mitra pendukung untuk memberi ruang kepada perempuan desa NTT dengan cara menulis apa yang mereka pikirkan dan alami.

"Biarkan mereka memberikan informasi yang paling jujur, yang tidak bisa ditutup-tutupi tentang desa mereka," jelasnya.
Di tempat yang sama, perwakilan dari Oxfam GB, Sunarso menjelaskan, tulisan dari wanita-wanita hebat ini akan dipublikasikan ke desa-desa lain dan menjadi ajang pembelajaran bagi mereka.

Menurut siaran pers yang diterima Pos Kupang, lomba ini dimulai Februari 2010 hingga minggu ke-2 Maret 2010, melibatkan 20 Desa di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu.

Lomba ini diadakan sebagai sebuah wadah penyaluran aspirasi bagi kaum perempuan, terutama yang berada di desa yang selama ini suaranya tak didengarkan dan jarang mendapat kesempatan terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pembangunan di desa, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring.

Lomba ini akan menghasilkan sebuah pengakuan yang sederhana, jujur dan nyata tentang pelaksanaan kebijakan pembangunan di tingkat desa yang dalam lomba ini pada kebijakan pengelolaan dan manfaat ADD bagi mereka. (alf)