Senin, 12 April 2010

Perempuan Lamaholot dan Devosi kepada Maria



SUMBER : http://www.misacorindo.org/hatibaru

Flores Timur (Flotim) merupakan sebuah kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meliputi Flores Timur daratan, Pulau Adonara dan pulau Solor. Secara geografis, Flores Timur terletak di belahan paling Timur Pulau Flores. Seperti daerah NTT lainnya, wilayah ini bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan diselingi dataran rendah yang terdapat di antara kaki-kaki gunung dan kaki bukit. Flores Timur dikenal sebagai wilayah kesatuan adat-budaya Lamaholot dengan menggunakan bahasa Lamaholot sebagai bahasa adat-budaya.

Masyarakat Lamaholot selain menyebut dirinya sebagai masyarakat adat juga dikenal sebagai masyarakat devosional. Secara khusus, masyarakat Lamaholot mempunyai praktik devosi kepada Maria Reinha Rosari yang dipercaya menjadi pelindung kota Larantuka sejak zaman kerajaan. Praktik devosi kepada Maria telah hidup selama ratusan tahun di sini. Tidak bisa dipungkiri bahwa ajaran Katolik yang tertanam sejak ratusan tahun ini ikut membentuk dan mempengaruhi hidup mereka.

Praktik devosi kepada Maria sebagai salah satu warisan rohani yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang dan pengaruhnya atas sikap masyarakat terhadap kaum perempuan. Agama Katolik di Flores Timur pertama kali diperkenalkan oleh kapal dagang Portugis yang di dalamnya terdapat rohaniwan Dominikan pada tahun 1550-an. Raja Larantuka Djuan Resindo pada masa itu merupakan salah satu di antara umat pertama yang memilih menjadi Katolik dan memberikan diri dibaptis. Cuaca yang buruk saat itu membuat kapal dagang Portugis terpaksa singgah di Benteng Lohayong (Solor) tahun 1556. Persinggahan sementara itu tidak hanya digunakan untuk membeli kayu cendana, tetapi juga digunakan untuk memperkenalkan agama Katolik kepada penduduk pribumi.

João Soares, salah satu saudagar Portugis berhasil membaptis penduduk pribumi jauh sebelum kedatangan misionaris Dominikan P. Antonio da Cruz OP. Apa yang telah dibuat oleh para saudagar Portugis itu selanjutnya diteruskan oleh misionaris Dominikan dengan mendirikan Misi di kepulauan Solor.

Keadaan yang tidak kondusif bagi pengembangan hidup kristiani umat semakin diperparah ketika April 1613, di bawah komando Appolonius Scotte dengan kapal VOC de Halve Maen, Benteng Lohayong (Solor) ditembaki, dibakar dan ditaklukan. Pengambilalihan Benteng Lohayong dari Portugis ke tangan VOC Belanda ini mengakibatkan enam misionaris dan 30 orang tentara Portugis dipulangkan ke Malaka. Sedangkan P. Agustina da Magdalena OP dan seorang awam Fransiskus Fernandez memimpin rombongan pengungsi ke Larantuka. Peristiwa ini sekaligus menjadikan Larantuka sebagai pusat umat Katolik di Flores Timur.

Meskipun terjadi kekosongan imam, namun masyarakat pribumi tetap berusaha menjaga dan mempertahankan imannya. Conferia (sebuah organisasi dalam Gereja) yang dibentuk pada masa misionaris Dominikan menjadi sarana utama meneruskan iman dengan tradisi prosesi Maria dan doa rosario dalam bahasa Portugis bercampur Melayu.

Salah satu warisan rohani peninggalan Misionaris Dominikan di keuskupan ini adalah praktik devosi kepada Maria dalam Prosesi Semana Santa (Pekan Suci). Semana Santa merupakan devosi untuk memperingati sengsara dan wafat Yesus Kristus. Prosesi ini mempunyai akar pada tradisi Portugis yang sangat kuat.

Devosi kepada Maria

Kedekatan hubungan manusia dengan Wujud Tertinggi dalam diri perempuan (ibu) pada agama asli (agama suku) Lamaholot, dalam Gereja Katolik terlihat pada pribadi Maria.

Tradisi Gereja Katolik menempatkan Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos) dalam Misteri Kristus dan Gereja. Maria sebagai Theotokos menjadi tanda kepenuhan kesempurnaan dari apa yang menjadi sifat seorang wanita, apa yang menjadi ciri kewanitaan. Maria memainkan fungsi kepengentaraan antara manusia dan Puteranya.

Masyarakat Lamaholot mengakui dan menghormati Maria dengan sapaan Tuan Ma atau Tuhan dan Ibu yakni Ratu satu-satunya dan Ibu Larantuka. Sebagai Hamba dan Ibu Tuhan, sikap melayaninya ikut berperan dalam karya penebusan. Bagi masyarakat dan budaya manusia, melayani bukan bawaan yang menonjol. Devosi tradisional kepada Maria pun tidak terlalu diwarnai oleh bukti pelayanan kristiani. Maka perlu disadari devosi yang benar kepada Santa Maria.

Gereja melalui Konsili Vatikan II mengajak umat beriman untuk meneladan Maria yang telah melayani karya penyelamatan dengan sempurna, sebagai Bunda Penebus dan Hamba Allah.

Sebagai Bunda Penebus, Maria menduduki tempat khusus dalam rencana karya Keselamatan. Hubungan Maria dengan sang Putera terjalin bukan saja dalam keibuan jasmani, tetapi juga dalam keibuan rohani. Artinya Maria menyetujui, menerima tanpa syarat dan mendukung kehadiran Puteranya, hidup dan karya penyelamatan Puteranya bukan saja pada awal panggilannya. Di bawah bimbingan dan kekuatan Roh Kudus, ia turut berperan bersama Puteranya.

Iman dan kesucian Maria bertumbuh dan berkembang terus melalui doa dan renungan hidup, karya dan kurban mulai dari Nazareth sampai Kalvari dan dalam masa penantian sampai Tuhan datang menjemputnya.

Tradisi Gereja dalam Konsili Vatikan II menegaskan persatuan erat dengan Maria dengan Puteranya dan dengan Gereja. Dia merupakan pralambang Gereja dalam iman, cintakasih dan persatuan sempurna dengan Kristus

Simbol perempuan

Tujuan pelayanan Maria adalah membawa Kristus Penyelamat ke dunia. Prosesi Maria Dolorosa di Larantuka dan beberapa daerah lainnya ditempatkan dalam kerangka kesetiaan Maria untuk menemani perutusan Sang Putera. Maria ikut menanggung penderitaan Yesus sekaligus membenarkan seluruh perutusan Yesus ke dunia.

Devosi kepada Santa Maria sebagai Reinha Rosari mempunyai sejarah dan tradisi yang panjang dalam masyarakat Flores Timur. Selama 400 tahun lebih masyarakat Larantuka dan sekitarnya melangsungkan sebuah prosesi Semana Santa (pekan suci Paska). Prosesi ini berintikan penyertaan dan devosi kepada Maria Dolorosa (Maria Berdukacita) yang kehilangan Yesus; Putranya yang mati demi penebusan dosa. Masyarakat Larantuka menyebut patung Maria Dolorosa dengan sebutan Tuan Ma.

Sementara peti mati Yesus dinamakan Tuan Ana. Patung Tuan Ma dan Tuan Ana hanya diperlihatkan sekali setahun. Tentang keberadaan patung Tuan Ma dan peti mati Tuan Ana sampai ke Larantuka mempunyai banyak versi mistis. Ada yang mengatakan kedua patung itu mengapung di laut, dari kapal milik para misionaris Dominikan yang karam. Ada yang mengatakan dahulu penduduk menyaksikan seorang wanita berkulit putih tiba-tiba muncul di pantai, menulis dengan kulit kerang di tanah: Reinha Rosari Maria, Maria sang Ratu. Selama prosesi Semana Santa, perempuan Lamaholot seperti Mama Muji berperan besar dalam menciptakan dan memberikan suasana khidmat kepada peziarah.

Di samping berkat dengan salib dan renungan di setiap armida (perhentian), nyanyian O Vos (nyanyian ratapan) menjadi salah satu bagian penting selama prosesi berlangsung. O Vos dilakukan oleh seorang perempuan. Dengan berbusana dan berkerudung serba biru, perempuan itu naik ke bangku kecil. Di pinggir jalan ia melafalkan O Vos dengan intonasi yang begitu miris. Sambil bernyanyi, ia perlahan-lahan membuka sebuah gulungan. Tampak gambar Ecce Homo, simbol wajah Yesus bermahkota duri yang terukir dalam kain kafan. Ia memutar tubuhnya menghadap setiap arah perjalanan prosesi. Tangannya menunjuk wajah Yesus seolah-olah ingin menerangkan betapa menderitanya Putra Maria itu.

Perempuan itu menyimbolkan Veronika, seorang perempuan Yerusalem yang dulu mengikuti penyaliban Yesus di Bukit Golgota. Tak dapat menahan emosi melihat penderitaan Yesus, Veronika menyerobot maju dari kerumunan manusia mendorong para algojo dan dengan berani mengelap wajah Yesus yang tengah bercucuran darah. Seketika di atas kain langsung tercap wajah Yesus.

Sementara di depan peti mati Tuan Ana, berjalan para ibu berkerudung hitam membawa kain besar berwarna hitam yang digelombang-gelombangkan di atas kepala mereka. Mereka adalah lambang para perempuan Yerusalem, satu-satunya kaum yang berani menyatakan perasaan duka atas kematian Yesus. Di antaranya adalah Maria Magdalena, Maria Kleopas dan Maria ibu Yakobus – salah satu murid Yesus.

Pengaruh Devosi

Praktik devosi kepada Maria dalam masyarakat Lamaholot telah mempengaruhi hidup mereka. Sikap keterbukaan Maria untuk berkorban telah mengembangkan sikap kesetiaan perempuan Lamaholot dalam menghadapi segala macam situasi. Prosesi Maria Dolorosa seperti mewakili gambaran yang ada pada diri perempuan di sana. Perempuan Lamaholot mampu untuk setia dengan tabah menderita, sabar melayani, mengasihi kehidupan dan memiliki keterbukaan karena menghayati spiritualitas Maria.

Praktik devosi kepada Maria memperlihatkan sikap penghargaan dan penghormatan masyarakat kepada kaum perempuan. Masyarakat Lamaholot memandang kaum perempuan sebagai yang sungguh istimewa. Keistimewaan mereka terletak pada kedekatan hubungan mereka dengan Allah yang oleh masyarakat Lamaholot disebut Lera Wulan Tana Ekan. Kedekatan mereka dengan Allah telah menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam praktik devosi kepada Maria, keberadaan perempuan Lamaholot justru menjadi pencipta keheningan dan kekhidmatan bagi para peziarah. Doa dan nyanyian yang mereka bawakan semakin membantu para peziarah untuk mengalami kedekatan dalam berelasi dengan Allah. (ST, Erick, Markus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar