Senin, 12 April 2010

Jejak Silang Budaya LARANTUKA


SUMBER : KOMPAS Minggu, 11 April 2010 | 03:21 WIB

Benteng itu sudah lama hancur. Yang masih tersisa hanya fondasi yang tertutup lumut, dengan beberapa bongkah batu di atasnya. Sebuah meriam tua tergeletak di tanah, tertimbun dedaunan kering. Inilah fortaleza (benteng pertahanan), salah satu jejak kedatangan Portugis di Pulau Solor, Nusa Tenggara Timur, hampir 500 tahun lalu.

Setelah menaklukkan Maluku sekitar tahun 1511, kapal-kapal Portugis pertama kali merapat ke Pulau Solor, sekitar 80 kilometer dari Larantuka, pada tahun 1556. Solor menjadi incaran karena pulau ini kaya akan kayu cendana meskipun saat ini tak ada lagi bekasnya. Kayu cendana sudah punah di sana. Kalaupun ada, tinggal beberapa batang pohon yang tumbuh alamiah di hutan-hutan sekitar.

Kekuasaan Portugis tak bertahan lama di Solor karena harus berhadapan dengan kekuatan kolonial lain, pasukan Belanda. Mereka lantas bergeser dari Pulau Solor ke Larantuka.

Pergeseran ini membuat sejumlah tradisi Lamaholot (Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan Pulau Alor) terpengaruh. Budaya Portugis—yang kental dengan ritual agama Katolik—mengakar dalam kehidupan sehari-hari warga lokal.

Raja Larantuka saat itu, Ola Ado Bala (raja ke-11), pun mengubah namanya menjadi Don Fransisco Ola Ado Bala Diaz Viera Deo Godinho (DVG), atau lebih dikenal sebagai Don Fransisco Ola Ado Bala DVG. Gelar DVG kemudian dikenakan kepada raja-raja sesudahnya, sampai Raja Andreas Martinho DVG (saat ini).

Setelah Raja mengganti namanya, warga Larantuka pun beramai-ramai menggunakan nama-nama Portugis. Sebanyak 13 suku di Larantuka yang tadinya menggunakan nama suku Lamaholot berubah menjadi suku Fernandez, suku Da Silva, suku De Rosari, suku Da Costa. Juga Da Santo, Gonzales, Ribeiru, Skera, atau De Ornay.

Sejumlah tradisi Lamaholot pun berangsur berubah atau malah hilang, seperti kepercayaan kepada ”Rera Wulan Tana Ekan” (penguasa langit dan bumi) dan penghormatan ke Gunung Ile, yang dianut masyarakat di wilayah itu jauh sebelum Portugis menginjakkan kaki di Larantuka. Kepercayaan ini meluas di seluruh masyarakat Lamaholot dan menjiwai seluruh kehidupan mereka, baik dalam pembacaan mantra, syair, maupun pantun tradisional.

Titik temu

Tokoh masyarakat Larantuka, Pieter Da Santo, di Kupang, Kamis (8/4), menyebutkan, dalam bahasa Lamaholot, Larantuka berarti ”jalan tengah” atau ”titik temu”. Hal itu pas dengan kondisi saat ini, yaitu Larantuka menjadi titik pertemuan masyarakat dari Pulau Adonara, Lembata, Solor dan masyarakat dari daratan Pulau Flores. ”Larantuka juga menjadi pusat pertemuan budaya Lamaholot, Portugis, dan Melayu yang dibawa para pedagang,” katanya.

Dari sisi tradisi, Larantuka juga menjadi magnet bagi masyarakat sekitarnya. Meski secara politik pulau-pulau sekitar Larantuka ingin memisahkan diri dan menjadi kabupaten mandiri, pada perayaan-perayaan keagamaan, masyarakat dari pulau-pulau sekitar tetap menganggap Larantuka sebagai ”pusat”.

Dr Theresia Kumanireng, mantan dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, yang melakukan penelitian khusus mengenai pengaruh bahasa dan budaya asli Larantuka dengan budaya Portugis dan Melayu, menemukan bahwa Portugis dan para penyiar agama juga memperkenalkan bahasa Melayu ke Larantuka. Bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa Larantuka tampak dari penggalan-penggalan kalimat seperti ”beri torang ae dike se” (beri kita orang air sedikit), ”pagari” (pagi hari), dan juga ”kelao- kedara” (ke laut dan ke darat).

Bisa dikatakan, bahasa Larantuka merupakan ”campuran” 70 persen bahasa Melayu, 20 persen bahasa Portugis, 0,5 persen bahasa Belanda, serta sisanya merupakan bahasa Lamaholot, Latin, dan Arab. Penguasaan bahasa Melayu, pendidikan dan kesehatan yang diperkenalkan Portugis pada masa lalu membuat warga Larantuka saat itu merasa diri sebagai kelompok cerdik-pandai, berbudaya, dan modern.

Kini warga Lamaholot di Adonara, Solor, Lembata, dan sekitarnya sudah jauh berkembang. Di Pulau Adonara, misalnya, dengan jumlah penduduk 120.000 jiwa, saat ini telah ada 29 doktor dari berbagai disiplin ilmu yang mengabdi sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi di NTT.

Larantuka dan sekitarnya merupakan kepingan kecil dari wajah Indonesia yang secara kultural terbentuk dari pergaulan lintas budaya, lintas bangsa.

(KORNELIS KEWA AMA/ARBAIN RAMBEY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar