Rabu, 20 Oktober 2010

Quo Vadis Kawasan Pengembangan Prioritas di NTT?

Oleh Ignas K Lidjang
Sumber : Pos KupangSelasa, 19 Oktober 2010
http://www.pos-kupang.com/read/artikel/54189/editorial/opini/2010/10/19/quo-vadis-kawasan-pengembangan-prioritas-di-ntt




RENCANA Tata Ruang Wilayah (RTRW) NTT telah ditetapkan oleh pemerintah propinsi melalui Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2005 dan dilengkapi dengan dokumen perencanaan yang sangat lengkap sebagai acuan mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2020. Seluruhnya ada 16 kawasan pengembangan prioritas yang dipilah dalam lima kategori, yakni: (1) satu kawasan industri di Bolok, Kabupaten Kupang, (2) 12 kawasan pengembangan ekonomi (pertanian dalam arti luas dan pariwisata), (3) Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis, (4) Wilayah laut dan perbatasan negara, dan (5) Kawasan terkebelakang.

Pada era sebelum otonomi daerah, beberapa kawasan pengembangan prioritas telah dilakukan penyusunan master plan oleh Bappeda bahkan Kawasan Mbay sudah ditingkatkan statusnya sebagai salah satu Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) dari 13 Kapet yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sedangkan Oesao (salah satu sub kawasan dari kawasan Noelmina) sudah ditetapkan sebagai Kawasan Agropolitan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, ketika memasuki era otonomi, geliat pembangunan bahkan perencanaan pada kawasan-kawasan tersebut mengalami stagnasi. Propinsi kehilangan power oleh menguatnya peran kabupaten/kota sedangkan kabupaten/kota memiliki agenda sendiri atas wilayahnya. .


Harus dikelola propinsi

Mengingat kawasan pengembangan prioritas memiliki nilai strategis dalam pembangunan ekonomi NTT dan geopolitik, maka pengelolaannya harus dilakukan oleh pihak propinsi. Sebaiknya juga, semua program propinsi dikonsentrasikan pada 16 kawasan dimaksud agar dampaknya lebih nyata dan tidak tumpang tindih dengan program kabupaten. Ada tiga dasar argumentasi mengapa saya mengusulkan agar 16 kawasan dikelola propinsi.

Pertama, alasan strategis bio-fisik dan keunggulan komparatif. Keragaan wilayah NTT menunjukkan bahwa kondisi bio-fisiknya sangat beragam, sebaran daerah-daerah potensial untuk pertanian bersifat acak, dan hanya 30% dari total luas wilayah yang cocok untuk pertanian. Laju degradasi sumber daya lahan juga cukup tinggi sehingga luas wilayah kritis semakin meningkat. Potensi laut juga masih sangat sedikit yang dieksploitasi, padahal potensi lestarinya sangat tinggi. Penetapan ke 16 kawasan pengembangan prioritas tentunya telah melalui kajian yang mendalam sehingga merupakan sumber daya yang memiliki keunggulan komparatif, potensial menjadi pusat pertumbuhan baru jika dikelola dengan serius, dan secara faktual sudah menjadi pusat-pusat aktivitas pertanian/agribisnis dengan beberapa komoditas unggulan yang memiliki prospek pasar yang baik. Propinsi harus melanjutkan berbagai program yang telah direncanakan melalui studi sebelumnya agar tidak mubazir dana yang telah dikeluarkan.

Kedua, alasan administratif agar sejalan dengan kewenangan propinsi/gubernur yang sudah ada dan yang akan diperluas/diperkuat melalui revisi undang-undang pemerintahan yang sementara digodok oleh Depdagri bersama DPR RI dalam rangka memperkuat perannya sebagai wakil pemerintah pusat/koordinator pembangunan, dan (3) alasan keterpaduan program dalam rangka percepatan pembangunan dan sinkronisasi kebijakan pusat-daerah. Terkait dengan keunggulan komparatif dan posisi strategis 16 kawasan di atas, maka fungsi dan kewenangan propinsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan yang bersifat lintas wilayah kabupaten harus dijalankan secara optimal. Karakteristik hampir seluruh kawasan adalah lintas kabupaten.

Berikut beberapa kawasan sebagai contohnya. Kawasan Noelmina mencakup Oesao, Amarasi dan Bena (Kabupaten Kupang dan TTS), Kawasan Benanin mencakup Aeroki dan Besikama (TTU dan Belu) bahkan dengan TTS jika menggunakan pendekatan DAS. Kawasan Noelbesi mencakup Eban, Kapan, Amfoang (TTS, TTU dan Kupang). Kawasan Tanjung Bunga mencakup Tanjung Bunga, Konga dan Magepanda (Flores Timur dan Sikka). Kawasan Mbay mencakup Mbay, Mautenda, Maurole (Nagekeo dan Ende) dan Kawasan Wanokaka-Anakalang (Sumba Barat dan Sumba Tengah).

Ketiga: alasan sinkronisasi kewenangan, pendanaan dan program. Sebagai sumberdaya yang memiliki 'nilai lebih' (kawasan pengembangan prioritas pertanian), strategis dari segi geopolitik (laut dan perbatasan) dan memerlukan pendanaan yang besar untuk infrastruktur (daerah terkebelakang) tentunya propinsi - apalagi kabupaten - tidak akan mampu menanggung pembiayaan dan ada kewenangan-kewenangan pusat yang melekat di dalamnya. Oleh karena propinsilah yang paling tepat untuk mensinkronkan semua kebijakan pendanaan (APBD I, DAK, Dekon, Investasi Swasta, dana LSM dan Lembaga Donor, dll), kewenangan pusat (yang tidak diserahkan kepada daerah) dan kewenangan yang sudah diserahkan ke daerah, juga perizinan untuk investasi oleh pihak swasta.


Lokus 4 Tekad dan Anggur Merah

Selama ini (maaf kalau saya salah), propinsi seakan gamang dalam mengucurkan dananya untuk pembangunan, yang untung tentu saja kabupaten, tetapi sering terjadi lempar bola jika ada masalah dengan program/proyek propinsi seakan-akan kabupaten tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, sebaiknya propinsi fokus (menjadi pemain utama) pada 16 kawasan dalam mengibarkan bendera 'empat tekad dan anggur merah' sedangkan kabupaten bersifat menunjang. Sebaliknya, di luar 16 kawasan biarlah kabupaten menjadi pemain utama dan propinsi sebagai penunjang.

Dalam rangka mendongkrak potensi 16 kawasan tersebut dengan empat tekad dan didukung dana pemberdayaan anggur merah, maka langkah-langkah taktis strategis yang segera dilakukan propinsi adalah: (1) lalu karakterisasi yang mendalam atas keunggulan komparatif semua kawasan sehingga jelas kawasan-kawasan mana yang sangat sesuai dengan jagung, sapi dan cendana, (2) bagaimana disain programnya (tunggal jagung atau sapi atau integrasi), (3) bagaimana mengimplementasikan program pengembangan kelembagaan koperasi agar dana anggur merah tidak habis begitu saja, (4) bagaimana organisasi pengelolanya, apakah ada satgas tertentu atau otorita atau cukup melalui koordinasi yang selama ini dijalankan, (5) bangun indikator keberhasilan, (6) bagaimana peta jalan (road map) program, (6) identifikasi dan mengajak para pihak (stakeholders) yang berminat dan relevan, dan (7) bagaimana cara pengendalian atau monitoring/evaluasi: apakah menurut level (kegiatan/program yang sudah/belum berjalan), apakah menurut waktu (awal/sebelum kegiatan, sedang berjalan dan sesudah selesai program) dan apakah bersifat fokus pada outcome (dampak) atau OBMNE (Outcome Based Monitoring and Evaluation).

Setelah tersusun grand design makro, maka untuk masing-masing komoditas (jagung, sapi, cendana) dan program koperasi dijabarkan dalam perencanaan teknis yang detail. Misalnya, jagung dimulai dari kegiatan perbenihan (siapa, berapa kebutuhan) ke program budidaya (dimana, berapa luas, bagaimana dengan pengadaan sarana produksi, butuh mekanisasi atau tidak, target produksi, produksi untuk makan atau pasar) lalu terakhir ke pasca panen (penyimpanan, pemasaran, harga, pengolahan). Demikian juga sapi; harus dimulai dari perbibitan (di mana oleh siapa, berapa target produksi) lalu distribusi (kolektif atau individual, berapa skala untuk masing-masing kategori) dan pemasaran (hidup atau olahan). Cendana (seperti diakui bapak gubernur saat audiensi dengan BPTP NTT tanggal 20 September 2010) memerlukan ekosistem spesifik dan mungkin sulit dikembangkan secara massal tetapi dapat didisain menjadi produk wisata pendidikan sebagai pusat pembelajaran. Koperasi jelas harus menjadi wadah perekat dan penggerak dengan tiga fungsi utama: (1) lembaga permodalan, (2) lembaga pemasaran, dan (3) lembaga perwujudan semangat gotong-royong.

Peran propinsi pada kawasan pengembangan lainnya (DAS kritis, wilayah laut dan perbatasan serta wilayah terkebelakang) mungkin lebih pada koordinasi dan sinkronisasi kebijakan serta pendanaan. Koordinasi dilakukan dengan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan semua pihak terkait (Lembaga Penelitian, Lembaga Internasional, LSM dan Lembaga Kemasyarakatan). Khusus untuk kawasan terkebelakang, peran propinsi mungkin lebih fokus pada koordinasi untuk pembangunan infrastruktur agar isolasi dapat dibuka sehingga arus transportasi dan informasi menjadi lancar.

Tulisan ini bukan untuk menggurui, sekedar mengingatkan bahwa Propinsi NTT telah memiliki RTRW, di dalamnya terdapat 16 kawasan pengembangan prioritas. Terserah pemerintah propinsi mau atau tidak untuk mengisinya dengan program yang bermanfaat bagi rakyat dan wilayah NTT. Jangan sampai hanya menjadi dokumen yang mati dan pada suatu saat kita berujar 'Quo vadis. *



Peneliti Madya Sumberdaya Pertanian di BPTP NTT

Jumat, 15 Oktober 2010

Pribadi yang autentik dan relevan

Mengenang Pater Niko Hayon

Oleh : Paul Budi Kleden, SVD

Memperingati Hari Ulang Tahun Kelahiran ke-70 dan Pancawindu Imamat dari Pater Niko Hayon, pada bulan Desember 2006 Penerbit Ledalero menerbitkan sebuah buku kenangan berjudul “Liturgi Autentik dan Relevan” (editor Georg Kirchberger dan Bernard Boli Ujan). Liturgi yang otentik dan relevan adalah ungkapan lain dari inkulturasi liturgi, satu tema yang digumuli Pater Niko selama hidupnya. Pada tahun 1970 Pater Niko menulis tesis doktoralnya yang berjudul A Liturgy for the Florenese People. Di sana dia menguraikan makna dan penghayatan liturgi orang Flores. Sejak tahun 1971 beliau menjadi dosen liturgi yang banyak berbicara, mendorong dan mengupayakan inkulturasi liturgi.

Liturgi Gereja harus autentik, mesti setia pada ajaran dan warisan tradisi, tetapi serentak relevan, karena liturgi pada dasarnya adalah perayaan umat akan imannya pada waktu dan tempat tertentu. Autentisitas menunjukkan keberakaran, sementara relevansi menyatakan daya sapa aktual. Yang autentik adalah yang tidak menyimpang dari jati diri, yang asli, sementara relevansi menunjukkan daya sentuh bagi seseorang atau satu kelompokmasyarakat pada satu waktu dan tempat tertentu.

Autentik dan relevan, hemat saya, adalah juga ungkapan yang dapat menyatakan seluruh pribadi Pater Nikolaus Hayon, SVD. Dia adalah pribadi yang autentik, yang jujur dan polos. Pribadi yang jujur selalu menampilkan kesederhanaan. Pribadi seperti ini tidak merasa perlu membangun benteng berupa kewibawaan semu atau kekayaan yang dipamerkan. Dia berwibawa bukan karena kekuasaan atau karena kekayaan. Apa adanya, diri yang sejati, itulah yang ditunjukkan. Kepribadian yang autentik biasanya serentak sanggup menunjukkan relevansinya. Dia mampu menempatkan diri di hadapan lawan bicaranya. Sebab itu, pribadi seperti ini mudah merasa bergembira bersama orang lain kendati alasan kegembiraan itu sangat sederhana, dan turut terlibat dalam rasa duka saat orang lain menghadapi masalah atau mengalami kegagalan. Seorang yang berkepribadian autentik dan relevan tidak mengalami kesulitan untuk berempati dengan orang lain. Tentu saja, empati seperti ini tidak selalu memudahkan orang untuk mengambil keputusan, saat berhadapan dengan pandangan dan perasaan-perasaan yang saling bertentangan.

Banyak orang, entah anggota keluarga, murid dan mantan murid, sama saudara atau sahabat dan kenalan, yang mengenal Pater Niko, merasakan kesederhanaan yang terpancar dari hatinya. Dia memang gampang menjadi akrab, karena kejujuran dirinya. Kesederhanaan ini membuatnya peka terhadap situasi yang sedang dihadapi seseorang. Sebab itu, Pater Niko dapat tertawa lepas dan membuat lelucon yang menggembirakan. Tetapi dia dapat pula sangat serius dan penuh perhatian ketika orang menceritakan masalahnya. Padanya menjadi sangat jelas kebenaran hidup ini, bahwa menjadi penggembira tidak harus berarti kedangkalan, dan kesungguhan dalam hidup tidak mesti membuat orang selalu menatap dunia dengan wajah murung. Seseorang yang sungguh menghayati hidup dengan hati yang sederhana, dapat terseyum polos dan meledak ria dalam tawa, serta terpekur diam merenung rumitnya benang kehidupan. Karena keutamaan ini, Pater Niko menjadi seorang sahabat kehidupan dan teman yang baik bagi banyak orang lain.

Pater Niko adalah seorang anggota SVD, biarawan, imam dan misionaris yang autentik dan relevan. Dia sungguh menghayati arti hidup sebagai biarawan, imam dan misionaris yang sejati, yang memberikan seluruh diri, waktu dan perhatiannya untuk melaksanakan misi Gereja dan mengemban kepentingan serikat. Dia dekat dengan keluarganya, tetapi dia sadar bahwa hidupnya diabdikan untuk satu kepentingan yang melampaui urusan keluarga. Pikiran misionaris seperti ini tidak hanya disibukkan dengan apa yang menguntungkan keluarga sendiri, dan hatinya tidak diganggu dengan pelbagai urusan hanya demi kepentingan kampung halamannya.

Dia berakar dalam spiritualitas SVD yang telah dikenalnya melalui para misionaris yang bekerja di paroki asalnya, Ritaebang, Solor. Para misionaris itu telah menjadi satu model penghayatan hidup iman yang peka dan terbuka untuk melayani manusia tanpa kenal batas. Pengenalan itu perlahan bertumbuh menjadi ketertarikan kepada SVD ketika dia menjadi siswa seminari di Hokeng dan di Mataloko. Rasa tertarik itu kemudian berkembang menjadi cinta kepada SVD sejak dia menjalani masa novisiatnya di Ledalero. Cinta tersebut lalu membuahkan tanggung jawab dan rasa bangga dalam menjalankan berbagai tugas dalam tarekat SVD.

Cintanya kepada SVD menjelma dalam tanggung jawab. Cinta tidak pernah lepas dari tanggung jawab untuk mengemban tugas yang dilihat penting. Sejak tahun 1971 sampai 1995, saat ditunjuk menjadi sekretaris eksekutif komisi Liturgi Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), beliau bertugas sebagai dosen dan pendidik di Ledalero. Selama menjadi sekretaris komisi Liturgi KWI sampai tahun 2002, ketika diangkat menjadi Provinsial SVD Ende hingga wafatnya, beliau masih terus menjadi pengasuh matakulia Liturgi pada STFK Ledalero. Tidak gampang menjadi betah dengan tugas yang tidak selalu menyajikan variasi, seperti tugas sebagai seorang dosen di Seminari Tinggi. Namun Pater Niko bertahan sekian lama, karena hatinya sederhana dan terbuka, karena pribadinya autentik dan relevan. Rutinitas keseharian hidup di sebuah lembaga pendidikan calon imam diimbanginya dengan variasi keterlibatan emosional dan tegang kendornya pikiran yang rela berziarah secara intensif bersama anak-anak muda yang sedang bergumul menjernihkan panggilannya. Pater Niko adalah salah seorang dari barisan para saksi yang menunjukkan bahwa kekayaan makna hidup tidak ditentukan banyaknya tempat yang pernah disinggahi, tetapi oleh banyaknya hati manusia yang membuka diri dan menuturkan kisahnya karena berhadapan dengan hati yang mendengarkan.

Cinta menyatakan diri dalam kesediaan menerima tanggung jawab. Pater Niko mencintai SVD, karena itu dia bersedia menerima tugas dan tanggung jawab sebagai provinsial dalam usia 66 tahun, ketika sejumlah orang lain lebih memilih menikmati ketenangan masa pensiun. Dia sadar, masih banyak sama saudaranya membutuhkannya sebagai bapa dan sahabat, saudara dan pemimpin yang sederhana, yang mendengarkan dan berempati. Dia melaksanakan tanggung jawab ini, dan meninggal dalam tugas sebagai provinsial.

Perkenalannya dengan para misionaris SVD di Ritaebang, Solor, membuahkan tanggung jawab dan rasa bangga. Pater Niko berbangga karena anugerah iman yang dihidupi di tengah keluarganya yang sederhana, dan atas panggilan yang boleh diterimanya dari Allah. Setahun yang lalu dia boleh merayakan syukur Pancawindu anugerah imamat. Dia berbangga atas SVD sebagai sebuah serikat misi yang membuka hati dan pikirannya untuk berempati dengan banyak orang tanpa kenal batas ras, kebudayaan dan agama. Dia mengalami dan merayakan kebanggaan ini secara istimewa dalam keikutsertaannya dalam sidang umum (Kapitel Jenderal) SVD dalam bulan Juni-Juli tahun lalu. Pater Niko memang patut berbangga, karena dia telah menjadi pendidik yang sudah turut membentuk kepribadian banyak orang lain yang bekerja baik sebagai awam maupun sebagai imam, biarawan dan misionaris. Dia berbangga dapat menyumbang bagi pemberdayaan masyarakat dan pembaruan kehidupan keagamaan melalui banyak orang yang telah dididiknya. Pada Pater Niko terbaca jelas, bahwa kebanggaan bukanlah kesombongan atau keangkuhan. Rasa bangga adalah ungkapan syukur atas kekayaan leluhur yang telah turut menghidupkan kita, dan kesanggupan untuk terlibat dalam kegembiraan karena prestasi dan keberhasilan orang lain.

Pater Nikolaus Hayon, SVD adalah seorang tokoh pendidik. Melalui berbagai cara, seperti melalui khotbahnya yang selalu disiapkan dengan sangat baik, terlebih lagi melalui contoh hidupnya, dia menghendaki lahirnya manusia-manusia yang autentik dan relevan. Pendidikan pada umumnya, dan pendidikan calon imam khususnya, mestinya selalu bertujuan membantu setiap orang untuk menjadi diri yang autentik dan relevan. Itu berarti, pendidikan perlu memberanikan orang untuk jujur dengan diri sendiri, mengenal bakat dan kemampuan serta mengakui kelemahan dan kekurangannya. Pendidikan juga hendaknya membuat seseorang peka terhadap lingkungan dan masyarakat tempat dia berada, agar di sana dia dapat meringankan beban hidup orang lain dan bukannya menjadi beban tambahan.

Kematian adalah ekspresi diri manusia yang paling jujur. Di dalam kematian manusia menjadi telanjang di hadapan Allahnya. Dia tak punya apa-apa untuk dapat mengelakkan diri dari kematian. Jumlah buku yang sudah ditulis, seminar dan kurus yang telah diberikan, dan permasalahan yang masih harus ditangani, tidak mempan dijadikan alasan untuk memperpanjang usia hidup. Kematian menyingkapkan secara jujur jati diri seseorang. Namun, serentak kematian menyatakan relevansi orang tersebut. Di dalam dan melalui kematian seseorang menyapa dan menunjukkan keberartiannya bagi yang masih hidup. Melalui dan di dalam kematiannya Pater Niko menggarisbawahi nilai satu kepribadian yang autentik dan relevan. Kita sampaikan terima kasih buatnya, guru yang sederhana dan baik itu. Requiescat in Pace.

Sumber : Flores Pos, 30 April 2007

Pastor Niko Hayon: Sebuah Biografi Singkat

Oleh : Benjamin Tukan



PATER Dr. Nikolaus Hayon,SVD adalah seorang imam pertama asal pulau Solor di Keuskupan Larantuka. Kata ‘imam pertama’ menjadi penting artinya manakala dalam kurun waktu 40 tahun imamatnya, di pulau Solor telah bermunculan sekian banyak imam.

Pater Niko Hayon, demikian orang menyapanya, dilahirkan di Ritaebang-Solor Barat, 14 Nopember 1936 dan dibaptis pada pesta St. Nikolaus,6 Desember 1936. Memang, tidak banyak cerita luar biasa yang dapat dikisahkan untuk menggambarkan Pater Niko Hayon semasa kecil, kecuali sebagai anak desa, menghabiskan waktunya dengan bermain ombak di tepi pantai ataupun menemani ayah pergi ke kebun dan ke hutan.

Letak desa Ritaebang berada di pinggir pantai bagian barat pulau Solor, berhadapan dengan puncak gunung Lewotobi di pulau Flores. Maka dapat diduga, dunia khayalan ketika masa kecil dari Pater Niko bukan dunia seberang melainkan suatu dunia yang jauh, entah dimana; suatu cakrawala tanpa batas.

Ketika berada di kelas III Sekolah Rakyat di Ritaebang, datang ajakan untuk melanjutkan pendidikan kelas IV hingga kelas VI di Larantuka. Ini tentu mengejutkan,lantaran dunia seberang adalah dunia baru yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Karena itu, tidak heran kalau Pater Niko didalam buku ini, memaknai hidupnya di Larantuka sebagai awal perkenalan dengan orang lain dari berbagai latar belakang. Penyesuaian diri secara sosial pada masa itu tentu mendapat ujian berat.

Dari Larantuka, Pater Niko lalu masuk Seminari San Dominggo Hokeng dan Seminari Yohanes Berkhmans Mataloko. Selanjutnya, bergabung dengan Serikat Sabda Allah dan ditabiskan menjadi imam pada 17 April 1966.

Setelah menjadi imam, Pater Niko melanjutkan studi dalam bidang Liturgi di Institut Kepausan San Anselmo, Roma; sebuah lembaga pendidikan yang dikelola oleh ordo Benediktin (OSB). Sebagai bagian akhir dari kuliah doktoral, beliau merampungkan tesis : “A Liturgy for the Florenese People”.

Kembali dari Roma, Pater Niko, menerima penugasan untuk berkarya di lembaga pendidikan imam, Seminari Tinggi Ledalero. Pada 10 Januari 1971, beliau memberikan kuliah pertama sebagai dosen Liturgi. Selanjutnya, sebagai pengajar Liturgi, pada 1979-1980, beliau mendapatkan kesempatan untuk mengikuti penyegaran / refresing Liturgi di Institut Liturgi, Trier, Jerman. Di Jerman pada kesempatan ini secara khusus beliau mempelajari simbol-simbol liturgi dan berhasil menerbitkan buku : “Ekaristi, Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda”.

Sepuluh tahun kemudian, 1990-1991, dalam rangka penyegaran, beliau kembali ke Institut Liturgi Trier Jerman, dan secara khusus mendalami Perayaan Ekaristi. Hasil studi ini diberi judul “ Memahami Tata Perayaan Ekaristi”.

Perhatian pada bidang liturgi, menempatkan beliau sebagai seorang yang memahami liturgi. Pada 1995-2002, beliau mendapatkan tugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI. Selain menjalankan tugas utama di KWI, beliau meluangkan waktu memberikan pelayanan pastoral di paroki- paroki di Jakarta, memberikan penataran Liturgi dan menjadi pengajar matakuliah Liturgi di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, STF Driyarkara dan Fakultas Teologi Universitas Atmajaya-Jakarta

Pater Niko memiliki sifat kebapaan dan mewarisi jiwa seorang pemimpin. Sejak 1971, secara bergantian beliau dipercayakan menjadi perfek, rektor dan pembimbing para calon imam di lembaga pendidikan calon Imam Ledalero. Tahun 1983-1990 beliau dipercayakan sebagai Ketua STFK Ledalero dan mendampingi sekolah Tinggi Filsafat ini dari status Terdaftar, ke status Diakui sampai kepada status Disamakan. Dalam waktu yang sama, 1984-1990 beliau juga menjadi Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Tahun 2002 setelah kembali dari Jakarta, beliau dipercayakan sebagai provinsial SVD Ende.

Dalam refleksinya yang tertuang dalam buku ini,Pater Niko sepertinya mengabaikan begitu saja jabatan yang disebutkan di atas. Beliau mefokuskan diri lebih sebagai seorang imam Serikat Sabda Allah. Karena itu, rupanya tidak berlebihan jika Pater Niko, dalam seluruh refleksinya memaknai hidupnya sebagai ada bagi orang lain... “Aku menguduskan diriku bagi mereka” (Yoh. 17:18).

***

KALAU masa kecil dan masa remaja dapat dijadikan acuan dalam membentuk karakter sesorang, maka apa yang diceritakan Pater Niko dalam buku ini ketika ia menjalani masa-masa itu, dapat pula menjadi patokan karyanya lebih lanjut. Pertama, Pater Niko sangat senang merefleksikan sebuah perjumpaan. Hal mana menunjukkan bahwa pribadinya adalah seorang yang sangat terbuka dan bisa menerima perbedaan. Refleksinya ketika berkenalan dengan berbagai orang selama melanjutkan Sekolah Rakyat di Larantuka adalah contoh kecil tentang “ ada bagi orang lain” dalam diri Pater Niko Hayon.

Kedua, menarik disimak apa yang menjadi refleksinya ketika untuk pertama kalinya menyeberangi selat Solor menuju Larantuka untuk selanjutnya mengikuti panggilan hidupnya. Dengan gamblang beliau menceritakan bahwa ketika menyeberangi arus selat, para pengguna sampan, selalu menunggu dan mengantisipasi datangnya arus selat yang membahayakan kehidupan.

Ternyata, gambaran ini dalam tafsiran yang bebas mewarnai sosok dirinya sebagai orang yang bukan sosok yang menantang arus melainkan orang yang selalu mempertimbangkan arah arus sebagai gambaran kekokohan prinsipnya. Seluruh kehidupan intelektualnya dan kepemimpinan yang menyertainya bisa ditafsirkan dari sini bahwa beliau adalah seorang revisionis dan bukan seorang revolusioner. Dalam konteks perubahan, sudah barang tentu beliau selalu meletakan dalam bingkai gradual, sistematis, terencana dan terukur. Namun demikian, dibalik sosok yang santai dan sederhana itu, sebenarnya beliau termasuk orang yang selalu membuat kalkulasi rumit sebelum mendorong perubahan.

Ketiga, ketika beliau bercerita bahwa doa dan menghadiri Ekaristi di Kapela Susteran SSps Balela Larantuka selama menjadi murid Sekolah Rakyat, beliau selalu melaksanakannya setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumah seperti menyiram bunga, membersihkan halaman dan lain sebagainya. Hal semacam ini mudah ditebak bahwa dirinya selalu mencintai sebuah aturan yang disepakati. Pepatah Latin : Serva ordinem et ordo servabit te, Layani peraturan dan peraturanpun akan melayani mu, selalu menjadi pegangan hidupnya. Demikianpun dengan pengalaman doa selalu dilakoninya sejak masih remaja.

Dari seluruh gambaran perjalanannya dapat dirangkumkan dengan pernyataanya sendiri, “Setiap orang akan merasa gembira dan bahagia, kalau ia memulai sesuatu dengan baik. Ia akan merasa lebih gembira dan bahagia lagi, kalau ia tetap pada jalan yang baik. Tetapi ia akan merasa paling gembira dan paling bahagia, kalau ia terus berjalan sampai pada tujuan, di tengah kehancuran dan kelesuan.”
***
Selamat merayakan Pancawindu, semoga benih panggilan kian berbuah banyak.

Jakarta, Juni 2006

(Tulisan ini dibuat untuk kenangan Pancawindu Pater Niko Hayon)


BIODATA DAN KARYA
P. Dr. Nikolaus Hayon, SVD.


Lahir :Ritaebang-Solor 14 Nopember 1936
Meninggal : Jakarta, 27 April 2007


Pater Dr. Nikolaus Hayon, SVD Lahir di Ritaebang, Solor, Flores Timur, 14 Nopember 1936, dan dibaptis di desa yang sama pada pesta St. Nikolaus, 6 Desember 1936. Pada 15 Agustus 1960 berikrar Kaul Pertama dan 15 Agustus 1965 mengikrarkan Kaul Kekal di kapela Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. 17 April 1966 (Minggu Putih) ditahbiskan menjadi imam di Katedral Reinha Rosari Larantuka.
Pendidikan

1. Pendidikan Dasar
1944-1948 : Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat di Ritaebang.
1948-1951 : Kelas IV-VI di Larantuka

2. Pendidikan Menengah
1951-1954 : SMP Seminari Hokeng Kelas I-III
1954-1956 : Kelas IV-V SMA Seminari Hokeng
1956-1958 : Kelas VI-VII SMA Seminari Mataloko

3. Pendidikan Tinggi
1958- 1960 : Tahun Rohani (Novisiat SVD) di Ledalero
1960-1962 : Studi Filsafat di Ledalero
1962-1966 : Studi Teologi di Ledalero

4. Pendidikan (Studi) lanjut dan Refreshing

1966-1970 : Studi Teologi dan Liturgi di Institut Kepausan San
Anselmo-Roma.

1966-1968 mengikuti kuliah Liturgi, dengan pemikiran, bahwa sesudah itu bisa mulai mengerjakan tesis doktoral, tapi tidak diperkenankan karena tidak memiliki ijazah “Lisensiat Tenologi”.

1968-1969 mengikuti kuliah Teologi di Fakultas Teologi San Anselmo dan berhasil selama setahun mendapat “Lisensiat” Teologi.

1969-1970 mengerjakan tesis doktoral dan berhasil memper¬tahan¬kannya. Judul Thesis : A Liturgy for the Florenese People. Dalam tegang waktu 4 tahun sudah merampungkan studi Liturgi sampai tingkat doktor.

1979-1980 : Mengikuti penyegaran/refresing Liturgi di Institut Liturgi, Trier, Jerman. Di institut Liturgi Trier, secara khusus mempelajari simbol simbol dan berhasil menerbitkan buku : Ekaristi, Perayaan keselamatan dalam bentuk Tanda, Ende, 1986

1990-1991 : Mengikuti penyegaran II di Institut Liturgi Trier Jerman. Dalam penyegaran yang kedua ini secara khusus mendalami Perayaan Ekaristi. Hasil studi ini diberi judul “ Memahami Tata Perayaan Ekaristi. Bahan studi ini, diperkenalkan kepada umat dalam tulisan bersambung dalam Tabloid Rohani Populer : SABDA, edisi tahun 2000 dengan judul: Memahami Tata Perayaan Ekaristi.

Masa Kerja
Sesudah merampungkan studi Liturgi di Roma, menerima penugasan untuk berkarya di lembaga pendidikan imam, Seminari Tinggi Ledalero.

10 Januari 1971 :Memberikan kuliah pertama sebagai dosen liturgi
1971-1974 : Prefek atau pembimbing dan pembina frater-frater Tingkat Filsafat
1974-1978 : Prefek atau pembimbing dan pembina frater-frater Tingkat Teologi
1981-1983 : Pembantu Prefek
1983-1990 : Ketua STFK Ledalero dan mendampingi sekolah Tinggi Filsafat ini
dari status Terdaftar, ke status Diakui sampai status Disamakan.
1983-1990 : Anggota Komisi Seminari Tinggi KWI
1984-1990 : Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero
1990-1994 : Magister untuk frater-frater novis SVD di Ledalero
1995-2002 : Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI.
Selama menjalankankan tugas utama di KWI, meluangkan waktu
memberikan pelayanan pastoral di paroki-paroki, memberikan
penataran liturgi, selain memberi matakuliah Liturgi di Sekolah
Tinggi Teologia Jakarta dan Fakultas Teologi Universitas
Atmajaya-Jakarta.
2002 - 2008 : Menjadi Provinsial SVD Ende (Selama dua periode)

Karya Tulis
Buku :
1. A Liturgy for the Florenes People (1970)
2. Ekaristi, Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda (Ende, 1985)
3. Cinta yang Mengabdi (Ende, 1988)
4. Tema-tema Paulus (Editor, Ende, 1988)
5. Refleksi Tentang Konstitusi Serikat Sabda Allah (Ende, 1994)
6. Sari Firman, (Ende, 2003)

Diktat-Diktat Kuliah :
1. Liturgi Dasar (1990)
2. Liturgi Inkulturasi (1998)
3. Liturgi Pastoral (1988)
4. Liturgi Sakramen (1988)
5. Kapita Salekta (1990)

Artikel -Artikel :
1. The Liturgical Community in Flores, Verbum SVD, 1972
2. Upacara Perkawinan dari Roma, Spektrum, 1974
3. Upacara Pemakaman dari Roma, Spektrum, 1974
4. Pengintegrasiaan Liturgi dengan Kepribadian Bangsa, Pastoralia, 1974
5. Kearah Pembentukan Liturgi Pribumi, Pastoralia, 1975
6. Kitab Suci Dalam Ibadat dan Pemberian Sakramen, Pastoralia, 1975
7. Liturgi dan Pembebasan, Ekawarta, 1995
8. Liturgi Adalah Kehidupan dan Kehidupan Adalah Liturgi, Ekawarta, 1995
9. Liturgi dan Budaya Moderen, Fajar Liturgi, 1995
10.Perempuan Dalam Liturgi, Fajar Liturgi, 1995
11.Memahami Simbol Dalam Liturgi, Fajar Liturgi, 1995
12.Usia Senja Yang Penuh Berkah, Fajar Liturgi, 1995
13.Rekonsiliasi dan Tataruang, Fajar Liturgi, 1997
14.Pedoman Devosi Umat, Fajar Litugi , 1998
15.Wewenang Mengatur Liturgi, Fajar Liturgi, 1999
16.Tata Gerak Dalam Ibadat, Fajar Liturgi, 1999
17. Sekilas Pemahaman tentang Bilangan, Fajar Liturgi, 2000.

Ritaebang : Awal Suara Sang Sabda MEMANGGIL

Oleh: Rm. Fransiskus Emanuel da Santo, Pr.

MISI awal Larantuka pada abad 15 dan 16 lebih dikenal dengan nama Misi Solor. Karena dari Nusa Solor, sebuah pulau Flores Timur, Keuskupan Larantuka itu, harum cendananya telah mendorong para pedagang Portugis untuk melabuhkan jangkarnya di Laut Sawu dan membawa kembali bukan saja harumnya cendana, tetapi pohon dan akar cendana pun menjadi laku di pasaran. Para missionaris yang ikut bersama itu, menaburkan dan menanam benih Sabda Allah, mewartakan Kerajaan Allah agar kemudian dapat menghasilkan buah berlimpah bagi kemajuan, kejayaan dan keharuman Kerajaan Allah.

Sepintas Sejarah

Pada bulan Agustus 1886, didampingi Raja Larantuka Don Lorenzo dari Larantuka, datanglah ke Solor Pastor C. Ten Brink dan mengunjungi semua kampung dan dusun, mulai dari Kalelu yang pada waktu itu disebut :Onga Kuman , menuju Lewolein lewat Ritaebang, yang ketika itu disebut, Riangmoton. Dari Lewolein keduanya melanjutkan kunjungan ke Keloreama, Lewohokeng, Lamawolo, Lemaku, Lamaole, dan ke Lamawohong. Mereka mengajar dan memperkenalkan Tuhan dan membaptis 102 anak rata-rata berusia 2 tahun; dan Bapak Raja Larantuka, Don Lorenzo, bertindak sebagai wali baptis/saksi. Buku baptis I tercatat: 7 orang yang dibaptis tanggal 21 Agustus 1886. Menurut catatan sejarah karya misi di Flores Timur terjemahan P. G. Krammer, SVD berdasarkan surat-surat Bruder Petrus Laan, SVD yang dikirim para missionaris kepada Uskup di Batavia dikatakan: “Pastor C. Ten Brink mempermandikan 462 anak di Pulau Solor, yakni perjalanan I dibaptis 143 anak dibawah umur 8 tahun. Perjalanan II dibaptis 319 anak.”

Sebagai missionaris perintis yang kedua, pada awal Agustus 1887, datanglah Pastor H. Leemkers, Sj, dibantu oleh beberapa guru agama dari Larantuka, antara lain: Bpk. Yohanes Demon de Ornay, Bapak Juan da Costa, Bapak Philipus Fernandez, Bapak Paulus Riberu, Bapak Dominggus Diaz, Markus Lonkinyu, Bapak Lukas Diaz dan Antonius Diaz.

Pastor Leemkers melayani wilayah ini selama 10 tahun pergi-pulang Lewolein-Larantuka. Beliau berkesempatan mengadakan kunjungan pastoral ke seluruh wilayah ini sekitar lima belas kali dan membaptis sekitar 300 putera/puteri Solor ke pangkuan Bunda Gereja melalui Sakramen Pembaptisan. Beliau ingin menetap di tengah umat paroki dan sudah mulai meletakkan fundasi pastoran di sebuah tempat antara Lewolein dan Riangsunge. Namun pembangunan ini terhenti ketika beliau diberangkatkan dengan sebuah perahu menuju Lewotobi untuk selanjutnya tidak kembali ke Solor lagi. Beliau diusir oleh karena salah tanggap dari pihak umat dalam hubungan dengan gerak-gerik Liturgis.

Demikian dalam buku permandian paroki jilid I tercatat: “Die 24 mensis Octobris 1897 Statio Lewolein derelicta fuit.” Maka selama 26 tahun, Paroki Ritaebang ketiadaan imam gembala umat. Namun dalam tahun 1923, datanglah Pater Rektor Theodorus Koch sebagai misionaris SVD yang pertama ke Lewolein. Walau berdomisili di Postoh, Larantuka, namun dalam dua bulan sekali beliau mengadakan kunjungan pastoral ke seluruh wilayah paroki. Beliau selain dibantu oleh P. Flint, SVD dan P. Arndt, SVD, seorang ahli etnologi, juga beberapa tokoh awam yang berjasa seperti: Bapak Yohanes Suban Raya Keban dan Antonius Riberu.

Para missionaris SVD selanjutnya berkarya di Nusa Solor termasuk di Ritaebang antara lain : P. Kliuters, SVD, P. Peeters, SVD, dan P. Antonius Sigoama Letor, SVD. Mulai dengan P. Yohanes Van Vessem, SVD, beliau lalu menetap sebagai Pastor Paroki selama 40 tahun di Ritaebang. Beliau dibantu sejumlah awam sebagai guru agama seperti: Bapak Silvester Wulu Leyn, Bapak Gabriel Kulong Kelore, Bapak Fransiskus Torontuan Keban, Bapak Bernardus Kesale Huler, Manuel Keyn, dan Lukas Liku dari Ritaebang.

Pada 20 Oktober 1978, dalam usia 68 tahun, P.Yohanes Van Vessem, SVD tutup usia dan dimakamkan di samping misionaris perintis pertama, P. C. Ten Brink, Sj di Pemakaman Katedral Larantuka. Karya beliau dilanjutkan oleh P. Antonius Sigoama Letor, SVD selama 16 tahun. Selanjutnya di Ritaebang, paroki paling barat pulau Solor ini dilayani para imam projo Keuskupan Larantuka.

Imam Sulung Ritaebang, Nusa Solor

Harum cendana yang telah diganti harum Sabda Allah yang ditabur di persada Nusa Solor yang sebagian tanahnya tandus, kering dan kaya batu ini, terus disiram embun rahmat dan berkat Tuhan. Masyarakat Solor, yang bekerja keras dan tekun sebagai petani dan nelayan, tidak surut semangatnya untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.Walau penghasilan mereka cuma bisa untuk makan, namun ternyata orang Solor umumnya dan Ritaebang khususnya telah melahirkan sejumlah putera-puteri yang mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja di berbagai bidang kehidupan, baik di kantor pemerintah dan swasta atau pun wirausaha yang berhasil.

Dari Ritaebang, Nusa Solor ini, juga telah lahir seorang imam sulung P. Nikolaus Hayon, SVD yang kini boleh bangga dan bersyukur merayakan Pancawindu imamat. Suatu bukti karya agung Allah yang telah ditaburkan, ditanam dan disiram darah martir para misionaris ketika misi Solor berkembang di pulau ini.

Kebanggan dan syukur bukan hanya untuk orang Ritaebang, tapi justru seluruh umat dan masyarakat Nusa Solor, yang telah mempersembahkan seorang putera terbaiknya untuk Tuhan, untuk Serikat Sabda Allah (SVD), dan untuk gereja. Betapa tidak! Setelah Pater Niko Hayon, SVD, sebagai buah sulung dari Ritaebang ikut serta menjawabi dan mengikuti Suara Sang Sabda itu. Tercatat dari paroki ini sudah ada 18 Imam SVD, 7 Imam Projo, 1 imam CSsR, 3 Bruder/frater SVD, 1 frater BHK, 16 suster dari berbagai ordo/tarekat, dan sejumlah calon imam baik di seminari tinggi mau pun di seminari menengah.

Pater Niko Hayon telah berjalan bersama Sang Sabda selama 40 tahun sebagai imam misionaris dalam Serikat Sabda Allah. Maka ketika bersyukur atas kasih setia Tuhan ini, seperti Yohanes Pembaptis, yang adalah pelindung paroki Ritaebang, dengan rendah hati P.Niko juga boleh berkata: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh 3:30). Inilah buah sulung dari Nusa Solor yang tengah berjalan bersama Sang Sabda.

Proficiat Tuan Niko!!***

^) Penulis Pastor Pembantu Paroki St. Yoh. Pembaptis Ritaebang, Solor Barat tahun 2000-2004.


(Artikel ini diambil buku : Mengikuti Sang Sabda : Kenangan Pancawindu Imamat P. Dr. Nikolaus Hayon, SVD, 2006)

Sang inspirator itu telah pergi

(Mengenang Alm. Pater Dr. Niko Hayon, SVD)

Oleh Kamilus Seran & Yakobus Sila *

BERITA kematian Pater Dr. Niko Hayon, SVD diterima penulis via short message service (SMS) dari Diakon Charles Beraf, SVD. "Pada Jumat 27 April 2007, pukul 11.20 Wita, Pater Niko menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit St. Karolus Jakarta". Ketika kabar itu sampai ke telinga penulis, sejenak penulis tidak yakin. Berita tersebut mengejutkan, karena kabar yang diterima selama ini bernada optimis: keadaan Pater Niko yang beberapa waktu lalu ‘dilarikan’ ke rumah sakit, mulai membaik. Tetapi kenyataan berbicara lain. Ia telah menghembuskan nafas terakhir. Ia telah pergi untuk selamanya. Kabar kepergiannya tak sedikit meninggalkan lara yang mendalam.

Pater Niko adalah sosok yang dikenal banyak orang. Relasi afeksional yang intens, membuat orang enggan berpisah dengannya. Kepergiannya adalah sebuah kehilangan yang besar. Jiwa kepemimpinan, kharisma kegembiraan dan kerendahan hati serta kesetiaan yang pernah ia tunjukkan dengan tulus, telah membekas dalam hati banyak orang.

Pater Niko dilahirkan di Ritaebang-Solor, Flores Timur pada 14 November 1936. Dia ditahbiskan menjadi imam pada 17 April 1966 di Gereja Katedral Larantuka. Dia dikenal sebagai pribadi yang mengesankan dan akrab dengan semua orang. Impresi ini datang dari bibir kebanyakan orang yang pernah merasakan kedekatan dengannya. Kedekatan ini sejatinya mengungkapkan makna suatu persahabatan yang ikhlas. Hanya orang-orang yangsanggup mendekati dan didekatilah yang dapat dikenal oleh orang lain. Bahwa dalam perjalanan hidup yang penuh dengan perjuangan ini, kedekatan menjadi kunci untuk menggapai keberhasilan. Kedekatan juga mengandaikan cinta. Sebab hanya cinta yang membuat orang sanggup mendekatkan diri pada yang lain, dan sebaliknya. Cintalah yang membuat orang-orang sanggup membangun sebuah persaudaraan sejati sekalipun tidak sedarah. Dan sebagai seorang imam misionaris SVD yang sejati, semangat hidup Pater Niko telah berbicara lantang tentang semuanya. Kepergiannya meninggalkan sejumput kenangan yang tak mudah dilupakan.

Misionaris yang rela berkorban

Pada tahun 1995, Pater Niko "diutus" ke Jakarta dan sampai tahun 2002 ia mengabdi sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI, sekaligus memberikan kuliah pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan Fakultas Teologi Atmajaya di Jakarta. Sebagai seorang utusan (baca: misionaris) ia mengemban dua tanggung jawab besar: bertanggung jawab untuk kehidupan gereja dan serentak bertanggung jawab untuk kehidupan bangsa dan negara. Ia mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan liturgi gereja Katolik Indonesia dengan mengabdi pada Komisi Liturgi KWI. Dalam kurun waktu antara 1995 dan 2002, patut dicatat bahwa Pater Niko juga menunjukkan pengabdiannya kepada bangsa dan negara melalui bidang pendidikan.

Sebagai seorang misionaris, ia adalah sosok yang setia dan rela berkorban. Ia tidak berkeberatan ketika mengemban tanggung jawab besar dan memberatkan karena menjadi utusan merupakan panggilannya. Tanggung jawabnya dalam bidang pendidikan sudah merupakan pengabdiannya sejak lama. Sebabpada masa-masa sebelum menjadi "utusan" ke Jakarta, ia telah mengabdi sebagai seorang dosen di STFK Ledalero. Bahkan pada usia tuanya, ia masih aktif sebagai dosen liturgi yang murah senyum dan bersemangat. Padahal masih ada tanggung jawab yang harus ia emban pada saat yang sama seperti menjalankan tugas-tugas sebagai seorang pemimpin. Semuanya itu membuktikan kepribadian Pater Niko sebagai seorang yang rela berkorban, siap diutus ke mana saja dan seorang yang setia sebagai pengabdi dan imam-misionaris. Ketulusan dan kerendahan hati serta pengabdiannya yang total kepada serikat, gereja dan bangsa selalu menyertainya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dan hal ini menjadikan dia tak ubahnya dengan seorang pahlawan.

Pengajar yang humoris

Pater Niko menjadi staf pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero sejak tahun 1971. Pater Niko menyelesaikan studi doktoratnya di Universitas Kepausan San Anselmo - Roma pada tahun 1970 dengan tesis berjudul A Liturgy For the Florenese People. Sebagai seorang doktor liturgi ia ingin membagi-bagikan pengetahuannya kepada para mahasiswanya. Ia menyajikan bahan kuliah dengan cara yang khas. Dia dikenal sebagai dosen yang humoris. Mata kuliah liturgi yang terkesan kaku dan membosankan dibuatnya menjadi hidup. Tawa-ria para mahasiswa menggelegar di ruang kuliah, ketika Pater Niko mulai berbicara. Setiap kata, kalimat dan gerak-geriknya membuat para mahasiswa tak sanggup menahan tawa. Suasana kelas (ruang kuliah) menjadi berantakan, tidak teratur. "Saya bingung, karena saya berbicara kamu bilang itu lucu, saya diam kamu bilang itu juga lucu," ungkap Pater Niko. Ia sering tidakmenyadari sosoknya yang humoris. Dirinya adalah kegembiraan itu sendiri. Ia hadir, dan dalam kehadirannya itu ada sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan. Namun hal itu tidak membuat bahan kuliahnya tersendat-sendat.

Sebagai seorang dosen dia tetap komit. Kepercayaan yang diberikan kepadanya sungguh dijaganya dengan baik. Bahan kuliah yang harus diajarkan kepada mahasiswa, diselesaikan pada waktunya. Tidak ada bahan kuliah yang tersisa. Bahan yang disajikan sederhana dan mudah dipahami. Dia tidak pernah menyulitkan mahasiswa. Yang ada padanya adalah kesediaannya untuk memberikan yang terbaik kepada mahasiswa. Sehingga jangan heran bila cerita yang menggembirakan tentang Pater Niko selalu dikenang. Seusai kuliah, para mahasiswa sering memperagakan gerak-geriknya saat mengajar. Gaya mengajar, senyum dan gerak-geriknya sulit dilupakan.

Bagi Pater Niko, menjadi dosen adalah saat untuk belajar menjadi guru yang baik. Menjadi guru yang baik tidak hanya berpikir tentang bagaimana bahan kuliah harus diselesaikan, melainkan sosok keguruannya itu sendiri harus tampak. Sosok guru yang baik adalah sosok yang mengajar dengan kehadiran seluruh diri. Segala perhatian dan cinta kasih dicurahkan sepenuhnya kepada sang murid. Guru yang baik adalah dia yang sanggup menjadi teladan bagi sang murid. Keteladanan Pater Niko menampakkan semangat pengorbanan seorang guru sejati.

Pemimpin yang merangkul

Setelah menjalani tahun sabbat (tahun refreshing) di Jerman, ia kemudian menjabat sebagai Rektor Seminari Tinggi Ledalero dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, dari tahun 1984sampai tahun 1990. Menjadi Rektor dan Ketua Sekolah pada waktu yang bersamaan, bukanlah hal yang mudah. Namun tugas itu sudah dijalankan dengan sangat baik oleh Pater Niko. Hal itu menampakkan jiwa kepemimpinannya. Baginya menjadi pemimpin bukan saat untuk bertakhta di atas singgasana. Menjadi pemimpin adalah saat untuk turun dari takhta kewibawaan dan menjadi pelayan bagi yang lain. Di sini, Pater Niko sebenarnya menghidupi spiritualitas seorang pemimpin yang merangkul.

Pemimpin yang merangkul adalah dia yang sanggup mengambil bagian dan turut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh yang dipimpin. Pater Niko adalah sosok pemimpin yang siap mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Bila terjadi perselisihan, dia sudah siap menjadi penengah yang baik. Kata-kata bijak dan suara kepemimpinannya menyejukkan. Tidak ada kata yang menyakiti perasaan. Ia selalu berusaha agar apa yang keluar dari mulutnya menghibur dan menenangkan.

Selain menjadi Rektor dan Ketua Sekolah, pada masa-masa akhir hidupnya dia menjabat sebagai Provinsial SVD Ende. Jabatan dan tugas ini diembannya sejak tahun 2002. Selama menjabat sebagai Provinsial Ende, Pater Niko dikenal sebagai pribadi yang rendah hati. Dia sosok yang tidak banyak menuntut, tetapi lebih banyak memberi, memahami orang lain. Pemahamannya akan yang lain memungkinkan dia sanggup menyapa orang lain pada tempat dan waktu yang tepat. Memahami orang lain adalah inti terdalam dari eksistensi manusia, karena manusia selalu berada di antara yang lain. Karakter Pater Niko yang penuh pemahaman memungkinkan orang-orang yang dipimpinnya tidak sanggup melawan, selainmengikuti apa yang dikatakannya. Kata-katanya berwibawa serentak menyejukkan.

Gembala yang baik

Keputusan menjadi imam dan gembala adalah pilihan hidup yang mesti dimaknai. Dengan menjadi gembala ia bukan hanya dikenal oleh domba-domba, tetapi ia juga mengenal domba-domba. Di sini tampak kesetiaan pada kedua belah pihak, antara gembala dan domba. Tetapi kesetiaan sang gembala dituntut lebih. Dia mesti lebih setia dari domba, agar kesetiaannya menjadi model kesetiaan domba-dombanya. Bahwa dalam setiap situasi ia patut tampil sebagai gembala yang baik. Ia mesti tampil untuk memberi kekuatan ketika domba-dombanya berada dalam ‘kondisi lemah’. Ia hadir sebagai pemberi harapan ketika yang digembalakannya tersandung dalam situasi tanpa asa. Ia juga mesti tampil sebagai ‘jalan’ ketika orang-orang yang digembalainya sedang kehilangan ‘kompas’ dalam hidupnya. Dan betapa semuanya itu mengungkapkan sosok si gembala yang baik. Pater Niko sebagai seorang gembala telah menghayati spiritualitas Gembala yang Baik itu (Sang Sabda) dalam sebagian besar sejarah hidupnya sebagai seorang imam-misionaris dan pemimpin yang dedikatif lagi setiawan.

Menjadi gembala dengan banyak tugas dan pekerjaan tidak membuat Pater Niko murung dan bersedih. Dia selalu tampil riang. Tidak ada kesedihan yang tampak dari raut wajahnya. Rupanya dialah sosok karismatis yang dihadirkan khusus sebagai pembawa kegembiraan sebagaimana pribadi sejatinya adalah seorang misionaris pewarta kabar gembira (the good news). Ia memang seorang pribadi unik. Jiwanya yang humorismembuat dia begitu akrab dan mudah didekati. Setiap orang yang pernah berjumpa dengan dia pasti memiliki pengalaman tersendiri. Pengalaman itu umumnya mengungkapkan sebuah kegembiraan yang senantiasa tampak dalam diri Pater Niko.

Penulis yang merasul dan mengabdi

"Menulis merupakan suatu ekspresi dan kolaborasi pikiran, perasaan, penjiwaan dan penghayatan. Menulis adalah sebuah peradaban, juga dapat dikatakan sebagai sebuah estetika dan etika menggagas kreativitas yang dinyatakan melalui tulisan", demikian ungkap Rm. Maxi Un Bria, Pr (PK 24/4/2007). Sebagai seorang penulis, Pater Niko telah mengekspresikan dan mengkolaborasikan pikiran, perasaan, penjiwaan dan penghayatan lewat sederet karya berupa buku-buku dan artikel-artikel. Buku-buku hasil karya tangannya adalah A Liturgy for the Florenese People (1970), Ekaristi, Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda (Ende, 1985), Cinta Yang Mengabdi (1988), Refleksi Tentang Konstitusi Serikat Sabda Allah (Ende, 1994), Memahami Ekaristi (1998), Pedoman Umum Misale Romawi (2002), Sari Firman (Ende, 2002).

Pater Niko tidak hanya menulis buku-buku tetapi juga sejumlah artikel yang dapat disebutkan seperti: The Liturgical Community in Flores (Verbum SVD, 1972), Pengintegrasian Liturgi dengan Kepribadian Bangsa (Pastoralia, 1974), Liturgi dan Pembebasan (Ekawarta, 1995), Liturgi adalah Kehidupan dan Kehidupan adalah Liturgi (Ekawarta, 1995), Tata Gerak dalam Ibadat (Fajar Liturgi, 1999), Sekilas Pemahaman Tentang Bilangan (Fajar Liturgi, 2000) dan lain sebagainya. Karena itu secara gamblang mengungkapkan semangat Pater Niko dalam upayanya memberi pencerahan kepada masyarakat. Hal ini padahakekatnya telah menunjukkan kesejatian pribadi Pater Niko sebagai seorang SVD yang mengabdi dan merasul melalui dunia pers. Sebab Societas Verbi Divini (SVD), sejak didirikan oleh St. Arnoldus Janssen, menjadikan media massa sebagai wadah yang baik untuk mewartakan kebenaran. Dasawarsa-dasawarsa awal kehidupan SVD ditandai oleh upaya para pater yang duduk dalam redaksi dan para bruder dalam percetakan. Sampai di sini dapat dipahami bahwa Pater Niko sendiri telah menghidupkan kembali spiritualitas St. Arnoldus Janssen dengan kerasulan dan pengabdian melalui pers dan publikasi karya-karya tulis. Menulis, bagi pater Niko merupakan sebuah bentuk pengabdian yang total.

Lebih dari sekadar kreativitas mengisi waktu, Pater Niko menjalankan tugas menulis ini sebagai sebuah pilihan. Sebab dengan menulis banyak nilai kehidupan dan kesaksian hidup serta kesaksian akan kebenaran itu dapat diabadikan. Dengan pengabdian kesaksian hidup dan refleksinya melalui tulisan-tulisan, karya-karyanya yang telah dipublikasikan itu tidak hanya menjadi sebuah pewartaan bagi orang-orang sezamannya tetapi juga menjadi inspirasi dan kesaksian tersendiri bagi generasi-generasi insani di masa mendatang. Pater Niko telah dipanggil Tuhan, tetapi jiwa dan spiritualitasnya tetap berbicara lantang dari masa ke masa lewat karya-karyanya yang telah dipublikasikan. Hilangnya seseorang dari kolong langit, hilang pula kisah-kisah yang pernah didengar dan dikisahkan. Namun kesaksian-kesaksian hidup yang telah tertuang dalam tulisan, tetap tinggal selamanya.

Pater Niko Hayon telah meninggal, tetapi tidak sedikit bekal kehidupan yang ia tinggalkan untuk orang-orang dekatnya, saudara-saudaranya, sahabat kenalan serta orang-orang yangpernah ia layani. Bahwa Pater Niko telah meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Sang Sabda. Kita berharap ia memperoleh kembali semuanya di rumah Bapa. Selama hidup ia telah memberikan seluruh dirinya sebagai bukti pengabdiannya yang total kepada sesama, kepada SVD sebagai sebuah Serikat, kepada bangsa dan negara, dan teristimewa kepada Tuhan yang telah memanggilnya. Kesetiaan, dedikasi, semangat hidupnya yang penuh dengan kegembiraan, kerendahan hati, ketulusan dan pengorbanannya layak menjadi inspirasi buat kita yang sedang berjuang di segala bidang kehidupan. Father Niko, Rest in Peace!

* Penulis, mahasiswa STFK Ledalero,

anggota KMKL, tinggal di Wisma Rafael

Sumber : Pos Kupang, 01 Mei 2007

Selasa, 12 Oktober 2010

KEPEMIMPINAN LAMAHOLOT


Oleh Yoseph Lagadoni Herin

-----------
Anak Lamaholot kelahiran Pamakayo, Solor. Sarjana FIA Undana Kupang (1993). Pernah menjadi Wartawan Pos Kupang, Harian Nusa Tenggara Denpasar, Tabloid Perspektif, Majalah Archipelago, Majalah Warta Bisnis, Majalah Media Otonomi (semuanya di Jakarta). Kini Wakil Bupati Flores Timur dan Anggota ‘Paguyuban Peduli Budaya Lamaholot’
---------------


ADALAH Willem Openg yang mengawalinya. Melalui artikelnya, (PK 19/6/2008), bertajuk Bupati Flotim dalam Konstelasi Kebudayaan,Willem Openg mengajak sidang pembaca masuk ke dalam ruang Debat Publik dengan tema pokok: Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan. Belum ada yang menyambut. Lalu muncul tulisan dengan nada yang nyaris sama dari Peka Wisok, Otonomi Daerah dan Pendekatan Kebudayaan (Catatan untuk Flotim), (PK 2/7/2008).

Kedua putra Lamaholot nun jauh di tanah rantau ini berpijak pada peg news yang sama dalam melahirkan tulisan. Yakni berita media massa tentang pernyataan Bupati Flotim Drs Simon Hayon yang dinilai menyesatkan dan mencederai rasa iman umat beragama, terutama Katolik sebagai agama mayoritas. Tulisan mereka mengilhami saya untuk ikut terlibat dalam ruang publik yang telah dibuka. Sebelum jauh melangkah, saya ingin menegaskan, keterlibatan saya semata sebagai putra Lamaholot yang kebetulan senang bersentuhan dengan sastra dan budaya. Sangat personal, tidak ada kaitannya dengan jabatan politik saat ini.

Keyakinan Personal Pejabat Publik

Terhadap pertanyaan yang diajukan Willem Openg dan Peka Wisok: apakah benar Bupati Simon Hayon pernah membuat pernyataan seperti itu, bagi saya semuanya telah jelas. Sebuah logika dasar dalam mata kuliah Pengantar Filsafat yang masih saya ingat mengajarkan begini, ‘ada karena ada’. Artinya, sesuatu itu ada karena sesuatu itu ada. Kalau pernyataan ini masih membingungkan, saya coba memformulasikan dalam bahasa sehari-hari: ada api maka ada asap. Atau, ada asap pasti kerena ada api! Demikianlah!

Indikasi lain dari kejelasan jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah klarifikasi Kabag Humas dan Protokol Setda Flotim, Nor Lanjong Kornelis SH, yang tumpang-tindih dengan logika yang terkesan dipaksakan. Dalam harian Pos Kupang, 6 Juni 2008, dia membantah. Dia katakan, Bupati Flotim belum pernah membuat pernyataan resmi bahwa Yesus lahir di Wureh, Nyi Loro Kidul adalah Bunda Maria dan kuburan Firaun ada di Desa Nobo Gayak.

Tapi dalam Koran Spirit NTT edisi 23 – 29 Juni 2008 –koran mingguan yang juga diterbitkan oleh Pos Kupang, Nor Lanjong memberikan klarifikasi yang berbeda. Di media ini dia mengatakan,”Harus dibedakan antara konteks ajaran dan konteks sejarah. Apa yang disampaikan bupati selama ini dalam konteks sejarah, menggali nilai-nilai luhur yang berkembang dalam budaya Lamaholot. Jadi jangan menafsirkan dalam konteks ajaran.” Wow, luar biasa dangkal logika Kabag Humas ini!

Dalam masyarakat berbudaya Lamaholot, koda pulo kehirin lema (selanjutnya disingkat koda-kehirin) atau “sabda” adalah segalanya. Koda-kehirin ibarat kitab suci bagi umat beragama modern. Koda-kehirin adalah akar yang mengilhami dan menginspirasi bertumbuhnya manusia Lamaholot, batang yang menopang tubuh kehidupan Lewotana dan curahan sejuk yang membuat pohon kehidupan manusia Lamaholot di atas tanah leluhurnya menjadi rimbun dengan nilai-nilai yang menyejukan ikatan kebersamaan. Baik kebersamaan dalam hubungan dengan lera wulan-tanah ekan (langit dan bumi: Tuhan), lewo tana (kampung halaman beserta segala isinya yang kelihatan dan tidak kelihatan) serta lango uma-suku ekan (sesama saudara yang kelihatan dan tidak kelihatan).

Singkat kata, koda-kehirin adalah lentera kehidupan masyarakat Lamaholot, sebagai pusat nilai. Koda-kehirin diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk temutu (tuturan). Nor Lanjong, temutu pada hakikatnya adalah ajaran. Ajaran tentang nilai-nilai universal kelamaholotan, tentang prinsip-prinsip hidup sesuai standar atadiken (manusia berbudi-adat). Ada juga ajaran tentang sejarah yakni temutu usu-asa (asal usul). Temutu usu-asa bercerita tentang sejarah, baik sejarah suku, lewotana, maupun sejarah hak ulayat dan lainnya. Lalu mengapa mesti dipisah antara ajaran dan sejarah dalam koda kehirin? Keduanya inheren, melekat, dan tidak saling meniadakan!

Nor Lanjong juga tidak bisa membedakan antara “nilai” dan “fakta”. Penjelasannya dalam Spirit NTT selanjutnya seperti ini,”Selama tiga tahun bupati berkeliling ke desa-desa senantiasa menjujung tinggi adat dan budaya Lamaholot di mana terdapat koda adat (Sabda) yang berisikan ajaran-ajaran/prinsip-prinsip hidup yang disebut koda pulo, kehirin lema. Kalau ada fakta-fakta sejarah baru, pihak arkaelog dari Larus-Prancis (yang benar, Universitas La Rochelle-Prancis, pen) akan menelitinya.”

Fakta Lamaholot itu berbeda bagai langit dan bumi dengan nilai luhur Lamaholot. Masyarakat Lamaholot mendiami wilayah Flores Timur daratan, Pulau Solor, Adonara, Lembata dan sebagian Alor-Pantar serta memiliki sekitar 19 dialek bahasa Lamaholot. Itu fakta. Fakta mengenal ruang dan identitas sehingga bisa dikenal indera-indera. Nilai-nilai luhur adalah sesuatu yang tidak bersentuhan dengan ruang. Sesuatu yang tidak kelihatan, yang hanya bisa dipelajari, dihayati dan dilaksanakan. Itulah bedanya, Nor Lanjong!

Klarifikasi yang tumpang tindih dengan logika yang amburadul seperti ini, sesungguhnya mengandaikan bahwa “sesuatu itu memang ada atau pernah terucapkan.” Di sini menjadi telanjang untuk dibaca bahwa klarifikasi hanya sebagai upaya pembelaan diri di satu sisi, dan pembohongan publik di pihak lainnya. Tampaknya, memiliki sedikit kerendahan hati untuk mengaku khilaf dan meminta maaf sudah menjadi barang langka bagi para pemimpin zaman ini.

Pejabat publik boleh saja bisa berdalih bahwa apa yang disampaikan merupakan pandangan dan keyakinan pribadi (sebagaimana pembelaan seorang ulama Katolik). Pertanyaannya: jika bersifat personal mengapa harus disampaikan ketika sedang melaksanakan tugas-tugas sebagai pejabat publik dan dalam forum publik pula? Masihkah dikatakan masalah personal jika semuanya sudah terlanjur tumpah-ruah ke dalam ruang dan waktu publik?

Sampai pada pertanyaan ini, saya teringat pesan bijak dari negeri Tiongkok. Adalah Baiyun, seorang guru Zen yang berpesan kepada umat Yang Wuwei. “Jika mengucapkan kata-kata, engkau harus selalu mempertimbangkan akibatnya. Jika engkau melaksanakannya, engkau harus mempertimbangkan cakupannya…. Para leluhur berbicara dengan kata-kata yang standar, dan tindakan mereka pun dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Sehingga mereka mampu berbicara tanpa menimbulkan masalah dan melakukan sesuatu dengan tidak mendapatkan malu.”
Kepemimpinan Lamaholot

Koda-kehirin Lamaholot menurunkan sejumlah pesan bijak tentang kepemimpinan dan tugas-tugas seorang pemimpin. Intisari ajarannya senafas dengan terminologi kepemimpinan terbaru yang digagas Linda A Hill. Yakni, “tentang bagaimana membangun hubungan emosional untuk memotivasi dan menginspirasi orang-orang.” Dalam konteks kepemimpinan Lamaholot, teori Linda A Hill tertuang dalam ungkapan: huda-adok (menyuruh dan memotivasi) ketika sang pemimpin berada di belakang, gute-gelekat (melayani) ketika berada di tengah dan nurun-noni (memberi petunjuk) ketika berada di depan.

Sebelum huda-adok, seorang pemimpin terlebih dahulu harus pupu ribu-puin ratu, pupu naan getan, puin naan gole (mengumpulkan dan mempersatukan masyarakat). Maksudnya, masyarakat jangan tercerai-berai, sebagaimana ungkapan puin taan uin to’u, gahan taan kahan ehan, atau eket taan to’u helo jin lali jawa, welak taan ehan rupan Tapo teti tonu. Dalam tugas gute-gelekat, pemimpin diharapkan bisa peheng-pegeng (mengayomi), gurun-gawak (melindungi), dan bote-baan (mengangkat harkat dan martabat) masyarakat dan lewotana. Semua tugas gute-gelekat ini tertuang dalam ungkapan: bote teti haak, tedun lali lein; prekun mala manuk ina, prama nope kolon rone (ibarat induk ayam melindungi dan membesarkan anak-anaknya).

Sedangkan tugas nurun-noni mengharapkan seorang pemimpin sebagai suri teladan. Orang Lamaholot mengharapkan pemimpinnya harus selalu benar sebagaimana ungkapan, pana ake tala raran saka matan, gawe ake tala nekin doni jaen. Pile mala uli elan, tada mala raran laen. Temodok di sama todok hala, bewalet di sama walet kurang (pilih jalan yang benar agar jangan sampai tersesat atau terantuk). Tugas nurun-noni juga dimaksudkan sebagai teladan dalam mengamalkan dan melaksanakan nilai-nilai. Karena sang pemimpin sekaligus menjadi guru untuk tutu koda pulo, marin kehirin lema (menuturkan dan mewartakan sabda).

Orang Lamaholot selalu percaya bahwa sebagai pusat nilai, koda-kehirin juga memiliki daya magis. Selain menjadi oksigen bagi nafas hidup manusia, kode-kehirin juga bisa menjadi senjata yang mematikan. Karena itu orang tua selalu punya nasihat, jaga koda-kehirin karena koda bisa leko tuberket, kirin bisa bolak mangerket (hati-hati berbicara karena kata-kata bisa membunuh). Karena itu, dalam menuturkan dan mewartakan sabda, seorang pemimpin harus tahu batasan-batasannya. Koda-kehirin yang dituturkan dan diwartakan harus sesuai dengan temutu yang diturunkan leluhur. Bukan hasil rekaan, khayalan atau halusinasi. Jika pemimpin menuturkan temutu hasil khayalan sendiri, maka bisa disebut dia sedang mengarahkan masyarakat ke dalam jalan sesat.

Barangkali keadaan seperti ini yang sedang terjadi di Flores Timur, lewotana yang agung dan mulia sebagaimana tergambar dalam sapaan lewo ihiken selaka, tana woraken belaon ini. Lagi-lagi saya teringat negeri Tiongkak. Guru Yuan pernah berpesan kepada rekannya Wuzu. Begini pesannya, “Pikiranlah yang menguasai jasmani seseorang dan menjadi dasar bagi berjuta aktivitas. Jika pikiran tidak dicerahkan dengan sempurna, maka khayalan akan muncul dengan sendirinya. Bila khayalan muncul, pengertian terhadap kebenaran menjadi tidak jernih. Benar dan salah menjadi kabur.”

Saya juga teringat seorang guru bangsa Tiongkok lainnya, Kong Hu Cu. Suatu hari ia bersama sejumlah muridnya berjalan melintas di depan istana kaisar. Murid-muridnya bertanya, “Guru , apa yang pertama kali dilakukan, seandainya terpilih menjadi kaisar?”. Sang guru menjawab, “Tentu saja meluruskan bahasa”. Para murid terdiam dan memandang sang guru dengan tatapan penuh tanya. Kong Hu Cu lantas menjabarkan, “ Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat, tidak diperbuat. Jika tidak diperbuat, moral dan seni akan merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya akan berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka, tak boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatakan. Ini yang paling penting di atas segala-galanya.”

Hal lain yang harus diperhatikan pemimpin Lamahaolot dalam menuturkan dan mewartakan koda-kehirin adalah mengetahui mana yang boleh dan mana yang haram. Pemimpin boleh saja mewartakan sabda tentang nilai-nilai universal. Tapi haram hukumnya menyentuh ranah temutu usu-asa (tutur sejarah) dari sebuah suku/marga atau kampung. Karena hukum Lamaholot menyebutkan, temutu usu-asa hanya boleh diceritakan oleh ‘orang dalam’ suku atau pemilik kampung tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari bias dalam penuturannya.

Repotnya, jika sang pemimpin merasa sok pintar dan tahu segala tentang suku dan kampung orang lain dan secara serampangan memberikan penafsiran atas makna nama dari sisi etimologis. Pemimpin seperti ini bukanlah tipe yang diidealkan dalam konteks budaya Lamaholot. Sejatinya, pemimpin Lamaholot adalah penjaga dan pengawal nilai-nilai. Yang kita saksikan sekarang, tatanan nilai-nilai kelamaholotan sedang diobok-obok oleh mereka yang mengaku pemimpin berparadigma budaya. Tapi mau bilang apa. Semua sudah terjadi. Tak terelakan! (***)(Sumber Pos Kupang)

Lorenzo Diaz Viera Godhinho


Lorenzo Diaz Viera Godhinho lahir di pertengahan tahun 1859 tepatnya di bulan Juli. Ia adalah putra Don Juan Batista, alias Raja Kinu adik dari mendiang Raja Gaspar di Kerajaan Larantuka. Setahun kemudian, 16 April 1860 Lerenzo dibatis dan sejak itu ia dibesarkan dalam suatu tradisi Katolik di wilayahnya, dan 14 Tahun kemudian tepatnya 6 April 1873 Lorenzo menerima komuni pertamanya.

Sebagai anak yang tumbuh dalam wilayah kerajaan, ia sangat cepat belajar menulis bahasa Melayu dan sedikit banyak bias berbahasa Belanda. Kemampuan inilah membuat Ia dapat mengikuti percakapan antara pera pejabat dan para imam. Pada 1880, Don Lorenzo menemani imam-imam dalam perjalanan untuk memaklumkan injil di kampong-kampung dan daerah pegunungan.

Ketika para misonaris hendak membuka program baru pendidikan yang juga masih baru , yaitu program pendidikan pertanian ia diminta menjadi asistem manejer dari Proyek Baru itu. Lorenzo tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia justru menunjukan bakat dan minatnya pada pendidikan dan menjadi kepala sekolah dan ia semakin terlibat di sana.

Sebagai putra mahkota, Lorenzo kesulitan mencari siapa pendampingnya. Pebruari 1884, ia pergi ke Atapupu di wilayah Timor untuk mendapatkan jodohnya. Tapi itu tidak berhasil. Ia pergi lagi ke sana untuk kedua kalinya dalam tahun Juli 1984 namun sia-sia. Ia sempat dicarikan jodoh oleh biarawati Suster Celeste yang berkarya 1870 di Larantuka. Ia dijanjikan akan mencari seorang pendamping di Semarang. Namun inipun sia-sia. Ia akhirnya menemukan jodohnya di Larantuka dengan seorang gadis Maria Diaz yang berasal dari Nobo. Maria belajar di sekolah misi dan merupakan pilihan dari ayahnya Loremzo dan mendapat restu dari Vikaris Apostolik Claessens. 25 November 1886 merek menikah.

Sampai mereka menikahpun, Maria masih tinggal di asrama susteran hingga mereka memperoleh rumah baru. Kesempatan inilah membuat Lorenzo setiap hari minggu pagi datang menjemput Maria untuk pergi ke gereja dan kembali mengantarkannya ke Asrama susteran. Pada 3 Mei 1887, mahkota mempelai perempuan dikenakan ke kepala Maria, dan mereka mulai menempatkan suatu rumah baru. Dalam keluarganya tidak hanya hari minggu, hari biasapun raja dan istrinya sering ke gereja.


Ketika Raja Dominggo mangkat tanggal 13 September 1887, Don Lorenzo tengah berada diwilayah konga , sebagai asisten pater Schwitz . Di Konga para pemuka kerajaan bersama Administrator Sipil memberitahukan kematian sang penguasa dan memaklumkan bahwa Don Lorenzo menjadi penggantinya.

Raja dimakamkan 22 Maret 1887, dan tanggal 14 Lorenzo dilantik menjadi Raja Larantuka. Lorenzo mulai merancang upacara baru. Rumah pemali yang menjadi tempat upacara penobatan tidak lagi dipakai, bahkan pembantaian seekor kambing atau ayam dan meminum daranya tidak lagi digunakan.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kerajaan Larantuka upacara penobatan dilangsungkan di gereja. Raja dijemput dari rumahnya oleh barisan anak-anak sekolah. Anak-anak laki-laki yang dilatih dengan baik oleh bruder Yesuit Aloysius van den Biggelaar, membentuk barisan pengawal kehormatan semi militer. Prosesi upacara menuju gerje diiringi rombongan musik tiup, hasil karya seorang Bruder Yesuit lainnya, Edward Vermeulen. Penobatan itu dirayakan dalam upacara Misa, dan setelah khotbah, sang raja mengikrarkan sumpahnya didepan altar Perawan Suci Maria, lalu meletakan tongkat kerajaan yang diambil sehari sebelumnya dari peti jenazah pendahulunya, pada altar Perawan Tersuci Maria. Kemudian dilantunkan masah Domine salvum fac regem nostrum laurentium (Ya Tuhan, berkatilah raja kami Lorenzo0, diikuti “doa untuk raja” dari buku upacara Misa Romawi. ( Karel : 163)

Ketika Don Lorenzo DVG (Raja Usi II) pada 1887 menjadi raja Larantuka, ia menyerahkan lagi tongkat kerajaan untuk kedua kalinya dalam suatu upacara penyerahan kota dan kerajaan Larantuka 8 September 1887.

Keluarga Lorenzo dikarunia anak, namun begitu lahir 3 bulan berikut meninggal. Namun beberapa tahun kemudian, istri melahirkan anaknya yang kemudian dinamakan Servus yang pada gilirannya menggantikan Lorenzo sebagai raja Larantuka. Ketika istrinya hendak melahirkan yang ketiga kalinya mereka memiliki anak kembar. Namun kelahrian ini memaksa istrinya meninggal dunia.

Don Lorenzo kawin lagi dengan istrinya yang kedua yakni Gadis Larantuka. Petualangan cinta hampir sama dengan yang pertama yang pada gilirannya ia hanya bisa sampai di situ.

Don Lorenzo mulai berurusan dengan banyak masalah-masalah politik. Ia memutuskan untuk memperluas wilayah kekuasaan serta meningkatkan kekuasaanya, namun konflik dengan banyak pihakpun tak terhindarkan. Ia mengalami Krisis kerohanian dan pemerintahan. Ia juga mulai menjauhi para rohaniwan.


Pemerintah Belanda kala itu pun tidak tinggal diam untuk berperan dalam masalah ini. Pada tanggal 1 Juli 1904 sang raja diperintahkan untuk menghadap residen Belanda di kapalnya, yang tengah membuang sauh di pelabuhan Larantuka. Lorenzo ditangkap dan diasingkan ke Yogyakarta di Jawa ia tinggal di yogya sampai kematiannya Nopember 1910.

(Diringkas oleh Benjamin Tukan dari buku “ Orang-Orang Katolik di Indonesia, 1802-1942 : Suatu Pemulihan Bersahaja, 1808-1903) (Jilid 1) Karangan : Karel Steenbrink, Penerbit : Ledalero, 2008)