Oleh : Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Sumber : Media Indonesia, Jumat, 16 April 2010
Sudah menjadi tradisi, seputar Hari Kartini selalu berkembang wacana tentang perjuangan perempuan perkasa itu. Ini cermin pengakuan atas jasanya mengentaskan kaumnya dari kebodohan. Di tengah kehebohan emansipasi kaum perempuan dunia di zamannya, dia muncul dengan gagasan memberi pendidikan pada kaumnya. Tidak terbayangkan bagaimana perempuan semuda itu sekitar 20 tahun memiliki pikiran sematang itu. Pada masa ketika masyarakat bahkan belum sadar akan jahatnya kungkungan penjajahan asing, dia sudah menyadari jahatnya kungkungan kebodohan bagi perempuan. Gagasan itu tumbuh berkat menyebarnya gelombang emansipasi yang berawal sejak revolusi industri di Eropa dan Amerika pada abad 18-19. Kartini yang mengenalinya dari bacaan, ingin kaumnya pun mengenal baca-tulis demi perluasan wawasan.
Sekjen PBB dalam pesan peringatan Hari Perempuan Internasional, tanggal 8 Maret yang baru lalu, menyatakan bahwa berkat tekad organisasi-organisasi masyarakatlah maka dewasa ini sebagian besar perempuan memperoleh pendidikan dan terjun ke bisnis maupun pemerintahan. Semakin banyak pula negara-negara yang memiliki undang-undang persamaan gender. Piagam PBB, yang ditandatangani di San Francisco tahun 1945, adalah persetujuan internasional pertama yang memproklamasikan persamaan gender sebagai hak asasi manusia.
Perempuan perkasa tantangan mental
Dalam International Women's Conference di Bali akhir bulan lalu, seorang peserta bertanya, mengapa perempuan terlalu peduli pada pendapat laki-laki tentang dirinya? Jawabnya: karena perempuan kurang percaya diri dan tidak ingin mengecewakan laki-laki.
Ada buku Why Men Love Bitches, karya Sherry Argov. Buku yang pernah paling laku di Amerika itu terbit pertama kali tahun 2000. Sampai sekarang sudah dicetak ulang 3x, diterjemahkan dalam lebih dari 20 bahasa dan beredar di banyak negara. Intinya, buku itu membuktikan, laki-laki zaman sekarang justru lebih menghormati (dan menyayangi) perempuan-perempuan yang yakin pada diri sendiri, yang merupakan tantangan mental bagi laki-laki. Istilah bitches bukan berkonotasi buruk, bukan berarti perempuan 'galak' di tempat kerja atau dalam pergaulan. Yang dimaksudkan adalah perempuan perkasa.
Perempuan perkasa menunjukkan keberanian melawan kecengengannya. Banyak contohnya. Di Indonesia, antara lain, tersebutlah Megawati Soekarnoputri, yang bersikap perkasa bukan hanya karena mazhab-mazhab politik maupun ekonomi yang mungkin dianggap melawan arus, tetapi karena keteguhan tekad pada apa yang dia yakini, yakni kepedulian pada kepentingan rakyat kecil dan kemaslahatan bersama.
Tokoh politik itu menjabat Ketua Umum PDIP sejak partai itu pisah dari Partai Demokrasi Indonesia (1999). Baru-baru ini PDIP memilihnya kembali untuk memimpin sampai 2015. Ketika Saur Hutabarat dengan serius mewawancarainya tentang itu lewat Metro TV, Ibu Mega tampak santai namun piawai karena keyakinannya. Begitu pula dalam pidato di Kongres PDIP, sikapnya yang bernas dan cerdas, yang memberi respons terhadap situasi ekonomi-politik saat ini, mendapat pujian dari banyak pihak. Itulah perempuan perkasa yang berhasil menjadi presiden perempuan pertama Indonesia, Juli 2001-Oktober 2004, sekalipun jalan menuju ke sana penuh sandungan.
Di bidang sosial dan kemanusiaan kita memiliki Yohana Sunarti Nasution (alm), pemimpin sejumlah yayasan sosial yang dikenal cinta masyarakat dan peduli pada kaum papa. Semua diawali dengan penderitaan batinnya karena kehilangan orang-orang terdekat yang dicintainya.
Dunia luar mencontohkan perempuan-perempuan perkasa seperti Margaret Thatcher, perempuan pintar yang menjabat Perdana Menteri Britania Raya 1979-1990, masa jabatan terpanjang dalam abad 20. Penentang ideologi komunis ini, yang berkiprah di masa Perang Dingin, mendapat julukan 'Wanita Besi' dari lawan-lawan politiknya.
Di bidang kemanusiaan kita kenal Ibu Teresa, biarawati Katolik keturunan keluarga Albania. Bulan Agustus nanti sedianya usianya mencapai 100 tahun. Berawal dari tahun 1948, dia membantu pendidikan anak-anak dari daerah kumuh di Calcutta dan sejak itu pengabdiannya membantu orang-orang sengsara berkembang luas. Dekrit Paus Paulus VI tahun 1965 meresmikan organisasi misionaris kedermawanan itu sebagai International Religious Family (Kerabat Religius Internasional) yang menyebar ke banyak negara.
Hadiah-hadiah perdamaian pernah diperolehnya, antara lain dari Paus JOHN XXIII (1971), Hadiah Nehru (1972), Hadiah Nobel (1979). Tentu banyak lagi perempuan perkasa, antara lain Indira Gandhi, Perdana Menteri India dalam dua periode berbeda: 1966-1977 dan 1980-1984. Dalam periode ke-2, jabatannya terhenti akibat pembunuhan atas dirinya. Tokoh lain, Benazir Bhutto, Perdana Menteri Pakistan untuk dua periode yang berbeda pula: 1988-1990 dan 1993-1996. Tokoh lulusan Harvard dan Oxford itu menjadi tokoh termuda dan perempuan pertama yang memimpin negara Islam pascamasa kolonial. Dia pun menjadi korban pembunuhan, 18 Oktober 2007, ketika sedang berkampanye untuk Pemilu 2008. Intrik politik telah gagal menghancurkan nama baiknya. Emansipasi memang telah membuka kesempatan bagi perempuan perkasa, tetapi jalan yang ditempuh tidak pernah sepi dari sandungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar