Rabu, 21 April 2010

Perempuan Kartini NTT

Sumber : Pos Kupang, Rabu, 21 April 2010 | 09:41 WIB

Oleh : Oleh Ana Waha Kolin, S.H

Ruang bagi seorang perempuan untuk mengungkapkan persoalan yang menimpanya sangat tertutup, bahkan tidak ada sama sekali. Perempuan tetap terkungkung dan tetap dipandang sebagai 'makhluk kelas dua', melayani suami, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan mengasuh anak-anak.
Gerakan perempuan NTT dalam parlemen ditandai dengan masuknya tiga srikandi muda pada tahun 1982 dalam jajaran DPRD I NTT, yakni Dra. Mien Pattymangoe, Ibu Jane Lada dan Ibu Manafe. Proses awalnya dimulai dengan seleksi di tingkat Dharma Wanita, dan terjaringlah 3 (tiga) nama tersebut di atas. Masuknya tiga srikandi dalam jajaran DPRD I NTT ini tidak terlepas dari campur tangan Ibu Gubernur NTT pada saat itu yakni Ny. dr. Nafsiah Mboy. Sosok keibuan dari seorang dr. Nafsiah Mboy, merupakan suport awal bagi gerakan perjuangan perempuan NTT, karena setelah Dra. Mien Pattymangoe dan kawan-kawan, DPRD I NTT kembali diwarnai dengan sosok perempuan-perempuan tangguh seperti Mien Ratoe Oedjoe dan Mieke Therik. Kehadiran tokoh-tokoh perempuan di DPRD NTT telah membuahkan suatu keputusan yang sangat berpihak pada kaum perempuan itu sendiri. Perjuangan para tokoh ini, diharapkan menjadi sejarah yang tidak boleh terlupakan bagi gerakan perempuan NTT.
Mengapa ada gerakan perempuan? Hal ini didasari dengan suatu pemikiran dan penyadaran diri dari perempuan itu sendiri bahwa ada sesuatu yang hilang dan perlu ditemukan dan dimiliki kembali. Perempuan harus bergerak untuk melepaskan diri dari kungkungan yang menghalangi cita-cita mereka untuk memperoleh perlakuan yang sama.
Peningkatan keterwakilan perempuan di bidang apa saja merupakan sebuah motivasi untuk sebuah perubahan yang besar yang terkait dengan tatanan kehidupan umat manusia dan aspek lainnya. Meskipun demikian, hal ini tentu saja tidak sederhana mengingat bahwa hambatan-hambatan yang ada berupa sebuah lingkaran persoalan yang menyangkut aspek struktural, kultural, dan seperangkat norma-norma yang sangat mengikat. Distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan publik merupakan bagian dari upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih demokratis.
Tangan dingin dr. Nafsiah Mboy dalam memoles perjalanan gerakan perempuan NTT kemudian dilanjutkan oleh Ibu Maria Boleng Fernandez dengan menghidupkan organisasi PKK sampai ke tingkat kelurahan dan desa, Ibu Agnes Musakabe yang terkenal dengan Dekranasda, Ibu Erni Tallo mencoba mengkolaborasi program 3 (tiga) batu tungku dengan perjuangan perempuan dimulai dari apa yang dimilikinya. Dan yang tidak kalah hebatnya saat ini Ibu Lucia Adinda Lebu Raya, S.Pd mencoba memfasilitasi gerakan kembali ke pangan lokal. Ini merupakan suatu terobosan yang sangat strategis pada saat di mana masyarakat diperhadapkan dengan kegagalan panen.
Semua gerakan yang dilakukan oleh para istri dari orang nomor satu satu NTT ini dengan satu tujuan, yakni agar perempuan tidak akan terpuruk dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Dengan demikian perempuan mampu membangun dirinya dan keluarganya. Karena di tangan seorang 'Ibu' generasi penerus bangsa ini dipertaruhkan.
Perjalanan perempuan di bidang politik untuk DPRD I NTT pasca Dra. Mien Pattymangoe dan kawan-kawan, justru mengalami penurunan yang sangat signifikan. Dari enam orang pada Pemilu 2004 turun menjadi 4 orang pada Pemilu 2009, belum lagi di kabupaten/kota se- NTT, di saat ruang untuk kaum perempuan sudah terbuka sangat lebar. Demikian juga yang terjadi dalam bidang Eksekutif maupun Yudikatif. Persentase keterwakilan cendrung menurun. Di manakah letak kesalahannya?
Jumlah pemilih perempuan yang lebih besar (kurang lebih 56%) merupakan modal dasar perjuangan perempuan dalam memberikan pilihan politiknya. Tinggal saja bagaimana mengkomunikasikannya. Gerakan perjuangan belum berakhir, gerakan perempuan masih tetap saja diperlukan dalam segala bidang karena ini merupakan daya dorong dalam setiap pencapaian target pembangunan di NTT.
Jadilah seorang aktivis perempuan yang kreatif, inovatif dan pantang menyerah. Kaum perempuan tidak boleh menjadi nenek sihir di antara kaumnya sendiri karena ini akan membuka celah ke ambang kehancuran perjalanan perempuan itu sendiri dalam memperjuangkan kepentingan perempuan, anak dan rakyat Nusa Tenggar Timur secara keseluruhan. *

Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Propinsi NTT, Sekretaris Forum Komunikasi Pemerhati dan Perjuangan Hak-hak Perempuan NTT

1 komentar: