SUMBER : MEDIA INDONESIA , Senin, 19 April 2010
RUBRIK : Calak Edu
Telah menjadi rahasia umum bahwa budaya baca masyarakat Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Jangankan masyarakat, guru dan dosen sekalipun, meski secara individual adalah pendidik yang dekat dengan dunia baca-membaca, pada kenyataannya juga rendah minat dalam membaca. Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa kebiasaan guru dalam membaca kurang dari 1 jam per hari.
Kebiasaan membaca yang kurang baik itu bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun! Jumlah judul buku baru yang ditulis dan diterbitkan itu menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih tergolong rendah. Mengapa demikian?
Fakta menunjukkan bahwa secara budaya dan tradisi, masyarakat kita adalah masyarakat bertutur yang fasih. Ketika budaya bertutur masih melekat, akibat kemajuan teknologi, saat ini kita dihadapkan dengan budaya melihat atau menonton acara televisi yang sedemikian kuat dan dahsyat pengaruhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat. Lihatlah bagaimana ulah pengendara mobil dan sepeda motor yang ketika membaca larangan berhenti dalam bentuk simbol huruf S, tetapi tidak cukup bisa mengartikan karena mereka tak memiliki budaya baca yang benar. Demikian juga di aparatur penyelenggara negara dan dunia birokrasi kita, begitu banyak peraturan dan undang-undang dihasilkan, tetapi mereka tidak cukup bijak dalam membacanya secara jernih dan berimplikasi pada kebijakan publik yang pro pada kebutuhan rakyatnya.
Lompatan dari tradisi bertutur ke tradisi menonton yang tanpa diperkuat dengan membangun budaya baca sebelumnya, dengan demikian, menghasilkan orang-orang yang bukan hanya tidak cerdas dalam 'membaca' bacaan, melainkan juga mengurangi sensitivitas seseorang dalam merekayasa perilaku yang sesuai dengan hati nurani dan akal pikiran sekaligus. Oleh karena itu, penting untuk dipikirkan strategi membangun budaya baca sesegera mungkin.
Pertanyaannya kemudian adalah di manakah seharusnya kita membangun dan mengembangkan budaya baca sedini mungkin? Jawabannya adalah di rumah dan di sekolah. Para orang tua perlu digugah kesadarannya untuk menciptakan lingkungan membaca bagi anak-anak mereka di rumah. Memberi contoh membaca dan mengajak anak-anak ke toko buku adalah cara sederhana yang bisa dilakukan para orang tua. Sementara itu, di sekolah, melalui perpustakaan dan budaya sekolah yang sehatlah dapat dibangun budaya membaca yang baik.
Sekolah, melalui program perpustakaan sekolah, harus mampu mengembangkan strategi atau pendekatan yang baru agar anak menjadi lebih tertarik ke perpustakaan dan membaca buku yang mereka inginkan. Sekolah dapat menerapkan program fun with book, weekly reading hours, atau ekspose buku baru secara berkala dan berjenjang yang disesuaikan dengan tema dan subjek yang dipelajari siswa. Selain itu, jenis-jenis penghargaan atau apresiasi bagi siswa yang membaca buku paling banyak dalam satu minggu perlu dilakukan. Pemilihannya dapat dilakukan dengan cara melihat catatan peminjam buku di perpustakaan sekolah dalam satu minggu, kemudian mengujinya dengan cara menanyakan secara langsung atau memberi mereka kepercayaan untuk menceritakan apa yang telah dibacanya di depan kelas.
Program lain juga dapat dilakukan melalui pendekatan perpustakaan lebar dan terbuka. Caranya, di setiap kelas, ruangan atau sudut tertentu dari sekolah bisa diletakkan rak-rak buku/majalah sehingga ketika ada waktu luang atau istirahat, anak-anak dapat dengan mudah memperoleh akses untuk selalu membaca. Cara itu bahkan bisa dengan mudah dapat diadaptasi sekolah yang tidak memiliki ruangan khusus untuk perpustakaan. Bahkan di beberapa sekolah yang lokasi dan bangunannya sangat sederhana, kebutuhan rak-rak untuk perpustakaan bisa dibuat dengan bahan-bahan yang sangat sederhana, tapi kontekstual dan bersih. Batu kali atau batu bata yang telah dibersihkan bisa ditumpuk secara berjenjang, kemudian di antara setiap tumpukan bisa dimasukkan papan atau bambu sehingga bentuknya menjadi sangat artistik dan kokoh.
Pentingnya membangun perpustakaan sekolah dan jika memungkinkan perpustakaan komunitas sekecil atau sesederhana apa pun jelas merupakan kebutuhan agar budaya membaca dapat diciptakan dan puncak-puncak peradaban dapat dibangun. Persis seperti keyakinan Henry Ward Beecher, "A little library, growing larger every year, is an honorable part of a man's history. It is a man's duty to have books. A library is not a luxury, but one of the necessaries of life."
Ahmad Baedowi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar