Jumat, 15 Oktober 2010

Sang inspirator itu telah pergi

(Mengenang Alm. Pater Dr. Niko Hayon, SVD)

Oleh Kamilus Seran & Yakobus Sila *

BERITA kematian Pater Dr. Niko Hayon, SVD diterima penulis via short message service (SMS) dari Diakon Charles Beraf, SVD. "Pada Jumat 27 April 2007, pukul 11.20 Wita, Pater Niko menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit St. Karolus Jakarta". Ketika kabar itu sampai ke telinga penulis, sejenak penulis tidak yakin. Berita tersebut mengejutkan, karena kabar yang diterima selama ini bernada optimis: keadaan Pater Niko yang beberapa waktu lalu ‘dilarikan’ ke rumah sakit, mulai membaik. Tetapi kenyataan berbicara lain. Ia telah menghembuskan nafas terakhir. Ia telah pergi untuk selamanya. Kabar kepergiannya tak sedikit meninggalkan lara yang mendalam.

Pater Niko adalah sosok yang dikenal banyak orang. Relasi afeksional yang intens, membuat orang enggan berpisah dengannya. Kepergiannya adalah sebuah kehilangan yang besar. Jiwa kepemimpinan, kharisma kegembiraan dan kerendahan hati serta kesetiaan yang pernah ia tunjukkan dengan tulus, telah membekas dalam hati banyak orang.

Pater Niko dilahirkan di Ritaebang-Solor, Flores Timur pada 14 November 1936. Dia ditahbiskan menjadi imam pada 17 April 1966 di Gereja Katedral Larantuka. Dia dikenal sebagai pribadi yang mengesankan dan akrab dengan semua orang. Impresi ini datang dari bibir kebanyakan orang yang pernah merasakan kedekatan dengannya. Kedekatan ini sejatinya mengungkapkan makna suatu persahabatan yang ikhlas. Hanya orang-orang yangsanggup mendekati dan didekatilah yang dapat dikenal oleh orang lain. Bahwa dalam perjalanan hidup yang penuh dengan perjuangan ini, kedekatan menjadi kunci untuk menggapai keberhasilan. Kedekatan juga mengandaikan cinta. Sebab hanya cinta yang membuat orang sanggup mendekatkan diri pada yang lain, dan sebaliknya. Cintalah yang membuat orang-orang sanggup membangun sebuah persaudaraan sejati sekalipun tidak sedarah. Dan sebagai seorang imam misionaris SVD yang sejati, semangat hidup Pater Niko telah berbicara lantang tentang semuanya. Kepergiannya meninggalkan sejumput kenangan yang tak mudah dilupakan.

Misionaris yang rela berkorban

Pada tahun 1995, Pater Niko "diutus" ke Jakarta dan sampai tahun 2002 ia mengabdi sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI, sekaligus memberikan kuliah pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan Fakultas Teologi Atmajaya di Jakarta. Sebagai seorang utusan (baca: misionaris) ia mengemban dua tanggung jawab besar: bertanggung jawab untuk kehidupan gereja dan serentak bertanggung jawab untuk kehidupan bangsa dan negara. Ia mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan liturgi gereja Katolik Indonesia dengan mengabdi pada Komisi Liturgi KWI. Dalam kurun waktu antara 1995 dan 2002, patut dicatat bahwa Pater Niko juga menunjukkan pengabdiannya kepada bangsa dan negara melalui bidang pendidikan.

Sebagai seorang misionaris, ia adalah sosok yang setia dan rela berkorban. Ia tidak berkeberatan ketika mengemban tanggung jawab besar dan memberatkan karena menjadi utusan merupakan panggilannya. Tanggung jawabnya dalam bidang pendidikan sudah merupakan pengabdiannya sejak lama. Sebabpada masa-masa sebelum menjadi "utusan" ke Jakarta, ia telah mengabdi sebagai seorang dosen di STFK Ledalero. Bahkan pada usia tuanya, ia masih aktif sebagai dosen liturgi yang murah senyum dan bersemangat. Padahal masih ada tanggung jawab yang harus ia emban pada saat yang sama seperti menjalankan tugas-tugas sebagai seorang pemimpin. Semuanya itu membuktikan kepribadian Pater Niko sebagai seorang yang rela berkorban, siap diutus ke mana saja dan seorang yang setia sebagai pengabdi dan imam-misionaris. Ketulusan dan kerendahan hati serta pengabdiannya yang total kepada serikat, gereja dan bangsa selalu menyertainya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dan hal ini menjadikan dia tak ubahnya dengan seorang pahlawan.

Pengajar yang humoris

Pater Niko menjadi staf pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero sejak tahun 1971. Pater Niko menyelesaikan studi doktoratnya di Universitas Kepausan San Anselmo - Roma pada tahun 1970 dengan tesis berjudul A Liturgy For the Florenese People. Sebagai seorang doktor liturgi ia ingin membagi-bagikan pengetahuannya kepada para mahasiswanya. Ia menyajikan bahan kuliah dengan cara yang khas. Dia dikenal sebagai dosen yang humoris. Mata kuliah liturgi yang terkesan kaku dan membosankan dibuatnya menjadi hidup. Tawa-ria para mahasiswa menggelegar di ruang kuliah, ketika Pater Niko mulai berbicara. Setiap kata, kalimat dan gerak-geriknya membuat para mahasiswa tak sanggup menahan tawa. Suasana kelas (ruang kuliah) menjadi berantakan, tidak teratur. "Saya bingung, karena saya berbicara kamu bilang itu lucu, saya diam kamu bilang itu juga lucu," ungkap Pater Niko. Ia sering tidakmenyadari sosoknya yang humoris. Dirinya adalah kegembiraan itu sendiri. Ia hadir, dan dalam kehadirannya itu ada sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan. Namun hal itu tidak membuat bahan kuliahnya tersendat-sendat.

Sebagai seorang dosen dia tetap komit. Kepercayaan yang diberikan kepadanya sungguh dijaganya dengan baik. Bahan kuliah yang harus diajarkan kepada mahasiswa, diselesaikan pada waktunya. Tidak ada bahan kuliah yang tersisa. Bahan yang disajikan sederhana dan mudah dipahami. Dia tidak pernah menyulitkan mahasiswa. Yang ada padanya adalah kesediaannya untuk memberikan yang terbaik kepada mahasiswa. Sehingga jangan heran bila cerita yang menggembirakan tentang Pater Niko selalu dikenang. Seusai kuliah, para mahasiswa sering memperagakan gerak-geriknya saat mengajar. Gaya mengajar, senyum dan gerak-geriknya sulit dilupakan.

Bagi Pater Niko, menjadi dosen adalah saat untuk belajar menjadi guru yang baik. Menjadi guru yang baik tidak hanya berpikir tentang bagaimana bahan kuliah harus diselesaikan, melainkan sosok keguruannya itu sendiri harus tampak. Sosok guru yang baik adalah sosok yang mengajar dengan kehadiran seluruh diri. Segala perhatian dan cinta kasih dicurahkan sepenuhnya kepada sang murid. Guru yang baik adalah dia yang sanggup menjadi teladan bagi sang murid. Keteladanan Pater Niko menampakkan semangat pengorbanan seorang guru sejati.

Pemimpin yang merangkul

Setelah menjalani tahun sabbat (tahun refreshing) di Jerman, ia kemudian menjabat sebagai Rektor Seminari Tinggi Ledalero dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, dari tahun 1984sampai tahun 1990. Menjadi Rektor dan Ketua Sekolah pada waktu yang bersamaan, bukanlah hal yang mudah. Namun tugas itu sudah dijalankan dengan sangat baik oleh Pater Niko. Hal itu menampakkan jiwa kepemimpinannya. Baginya menjadi pemimpin bukan saat untuk bertakhta di atas singgasana. Menjadi pemimpin adalah saat untuk turun dari takhta kewibawaan dan menjadi pelayan bagi yang lain. Di sini, Pater Niko sebenarnya menghidupi spiritualitas seorang pemimpin yang merangkul.

Pemimpin yang merangkul adalah dia yang sanggup mengambil bagian dan turut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh yang dipimpin. Pater Niko adalah sosok pemimpin yang siap mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Bila terjadi perselisihan, dia sudah siap menjadi penengah yang baik. Kata-kata bijak dan suara kepemimpinannya menyejukkan. Tidak ada kata yang menyakiti perasaan. Ia selalu berusaha agar apa yang keluar dari mulutnya menghibur dan menenangkan.

Selain menjadi Rektor dan Ketua Sekolah, pada masa-masa akhir hidupnya dia menjabat sebagai Provinsial SVD Ende. Jabatan dan tugas ini diembannya sejak tahun 2002. Selama menjabat sebagai Provinsial Ende, Pater Niko dikenal sebagai pribadi yang rendah hati. Dia sosok yang tidak banyak menuntut, tetapi lebih banyak memberi, memahami orang lain. Pemahamannya akan yang lain memungkinkan dia sanggup menyapa orang lain pada tempat dan waktu yang tepat. Memahami orang lain adalah inti terdalam dari eksistensi manusia, karena manusia selalu berada di antara yang lain. Karakter Pater Niko yang penuh pemahaman memungkinkan orang-orang yang dipimpinnya tidak sanggup melawan, selainmengikuti apa yang dikatakannya. Kata-katanya berwibawa serentak menyejukkan.

Gembala yang baik

Keputusan menjadi imam dan gembala adalah pilihan hidup yang mesti dimaknai. Dengan menjadi gembala ia bukan hanya dikenal oleh domba-domba, tetapi ia juga mengenal domba-domba. Di sini tampak kesetiaan pada kedua belah pihak, antara gembala dan domba. Tetapi kesetiaan sang gembala dituntut lebih. Dia mesti lebih setia dari domba, agar kesetiaannya menjadi model kesetiaan domba-dombanya. Bahwa dalam setiap situasi ia patut tampil sebagai gembala yang baik. Ia mesti tampil untuk memberi kekuatan ketika domba-dombanya berada dalam ‘kondisi lemah’. Ia hadir sebagai pemberi harapan ketika yang digembalakannya tersandung dalam situasi tanpa asa. Ia juga mesti tampil sebagai ‘jalan’ ketika orang-orang yang digembalainya sedang kehilangan ‘kompas’ dalam hidupnya. Dan betapa semuanya itu mengungkapkan sosok si gembala yang baik. Pater Niko sebagai seorang gembala telah menghayati spiritualitas Gembala yang Baik itu (Sang Sabda) dalam sebagian besar sejarah hidupnya sebagai seorang imam-misionaris dan pemimpin yang dedikatif lagi setiawan.

Menjadi gembala dengan banyak tugas dan pekerjaan tidak membuat Pater Niko murung dan bersedih. Dia selalu tampil riang. Tidak ada kesedihan yang tampak dari raut wajahnya. Rupanya dialah sosok karismatis yang dihadirkan khusus sebagai pembawa kegembiraan sebagaimana pribadi sejatinya adalah seorang misionaris pewarta kabar gembira (the good news). Ia memang seorang pribadi unik. Jiwanya yang humorismembuat dia begitu akrab dan mudah didekati. Setiap orang yang pernah berjumpa dengan dia pasti memiliki pengalaman tersendiri. Pengalaman itu umumnya mengungkapkan sebuah kegembiraan yang senantiasa tampak dalam diri Pater Niko.

Penulis yang merasul dan mengabdi

"Menulis merupakan suatu ekspresi dan kolaborasi pikiran, perasaan, penjiwaan dan penghayatan. Menulis adalah sebuah peradaban, juga dapat dikatakan sebagai sebuah estetika dan etika menggagas kreativitas yang dinyatakan melalui tulisan", demikian ungkap Rm. Maxi Un Bria, Pr (PK 24/4/2007). Sebagai seorang penulis, Pater Niko telah mengekspresikan dan mengkolaborasikan pikiran, perasaan, penjiwaan dan penghayatan lewat sederet karya berupa buku-buku dan artikel-artikel. Buku-buku hasil karya tangannya adalah A Liturgy for the Florenese People (1970), Ekaristi, Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda (Ende, 1985), Cinta Yang Mengabdi (1988), Refleksi Tentang Konstitusi Serikat Sabda Allah (Ende, 1994), Memahami Ekaristi (1998), Pedoman Umum Misale Romawi (2002), Sari Firman (Ende, 2002).

Pater Niko tidak hanya menulis buku-buku tetapi juga sejumlah artikel yang dapat disebutkan seperti: The Liturgical Community in Flores (Verbum SVD, 1972), Pengintegrasian Liturgi dengan Kepribadian Bangsa (Pastoralia, 1974), Liturgi dan Pembebasan (Ekawarta, 1995), Liturgi adalah Kehidupan dan Kehidupan adalah Liturgi (Ekawarta, 1995), Tata Gerak dalam Ibadat (Fajar Liturgi, 1999), Sekilas Pemahaman Tentang Bilangan (Fajar Liturgi, 2000) dan lain sebagainya. Karena itu secara gamblang mengungkapkan semangat Pater Niko dalam upayanya memberi pencerahan kepada masyarakat. Hal ini padahakekatnya telah menunjukkan kesejatian pribadi Pater Niko sebagai seorang SVD yang mengabdi dan merasul melalui dunia pers. Sebab Societas Verbi Divini (SVD), sejak didirikan oleh St. Arnoldus Janssen, menjadikan media massa sebagai wadah yang baik untuk mewartakan kebenaran. Dasawarsa-dasawarsa awal kehidupan SVD ditandai oleh upaya para pater yang duduk dalam redaksi dan para bruder dalam percetakan. Sampai di sini dapat dipahami bahwa Pater Niko sendiri telah menghidupkan kembali spiritualitas St. Arnoldus Janssen dengan kerasulan dan pengabdian melalui pers dan publikasi karya-karya tulis. Menulis, bagi pater Niko merupakan sebuah bentuk pengabdian yang total.

Lebih dari sekadar kreativitas mengisi waktu, Pater Niko menjalankan tugas menulis ini sebagai sebuah pilihan. Sebab dengan menulis banyak nilai kehidupan dan kesaksian hidup serta kesaksian akan kebenaran itu dapat diabadikan. Dengan pengabdian kesaksian hidup dan refleksinya melalui tulisan-tulisan, karya-karyanya yang telah dipublikasikan itu tidak hanya menjadi sebuah pewartaan bagi orang-orang sezamannya tetapi juga menjadi inspirasi dan kesaksian tersendiri bagi generasi-generasi insani di masa mendatang. Pater Niko telah dipanggil Tuhan, tetapi jiwa dan spiritualitasnya tetap berbicara lantang dari masa ke masa lewat karya-karyanya yang telah dipublikasikan. Hilangnya seseorang dari kolong langit, hilang pula kisah-kisah yang pernah didengar dan dikisahkan. Namun kesaksian-kesaksian hidup yang telah tertuang dalam tulisan, tetap tinggal selamanya.

Pater Niko Hayon telah meninggal, tetapi tidak sedikit bekal kehidupan yang ia tinggalkan untuk orang-orang dekatnya, saudara-saudaranya, sahabat kenalan serta orang-orang yangpernah ia layani. Bahwa Pater Niko telah meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Sang Sabda. Kita berharap ia memperoleh kembali semuanya di rumah Bapa. Selama hidup ia telah memberikan seluruh dirinya sebagai bukti pengabdiannya yang total kepada sesama, kepada SVD sebagai sebuah Serikat, kepada bangsa dan negara, dan teristimewa kepada Tuhan yang telah memanggilnya. Kesetiaan, dedikasi, semangat hidupnya yang penuh dengan kegembiraan, kerendahan hati, ketulusan dan pengorbanannya layak menjadi inspirasi buat kita yang sedang berjuang di segala bidang kehidupan. Father Niko, Rest in Peace!

* Penulis, mahasiswa STFK Ledalero,

anggota KMKL, tinggal di Wisma Rafael

Sumber : Pos Kupang, 01 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar