Rabu, 20 Oktober 2010

Quo Vadis Kawasan Pengembangan Prioritas di NTT?

Oleh Ignas K Lidjang
Sumber : Pos KupangSelasa, 19 Oktober 2010
http://www.pos-kupang.com/read/artikel/54189/editorial/opini/2010/10/19/quo-vadis-kawasan-pengembangan-prioritas-di-ntt




RENCANA Tata Ruang Wilayah (RTRW) NTT telah ditetapkan oleh pemerintah propinsi melalui Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2005 dan dilengkapi dengan dokumen perencanaan yang sangat lengkap sebagai acuan mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2020. Seluruhnya ada 16 kawasan pengembangan prioritas yang dipilah dalam lima kategori, yakni: (1) satu kawasan industri di Bolok, Kabupaten Kupang, (2) 12 kawasan pengembangan ekonomi (pertanian dalam arti luas dan pariwisata), (3) Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis, (4) Wilayah laut dan perbatasan negara, dan (5) Kawasan terkebelakang.

Pada era sebelum otonomi daerah, beberapa kawasan pengembangan prioritas telah dilakukan penyusunan master plan oleh Bappeda bahkan Kawasan Mbay sudah ditingkatkan statusnya sebagai salah satu Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) dari 13 Kapet yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sedangkan Oesao (salah satu sub kawasan dari kawasan Noelmina) sudah ditetapkan sebagai Kawasan Agropolitan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, ketika memasuki era otonomi, geliat pembangunan bahkan perencanaan pada kawasan-kawasan tersebut mengalami stagnasi. Propinsi kehilangan power oleh menguatnya peran kabupaten/kota sedangkan kabupaten/kota memiliki agenda sendiri atas wilayahnya. .


Harus dikelola propinsi

Mengingat kawasan pengembangan prioritas memiliki nilai strategis dalam pembangunan ekonomi NTT dan geopolitik, maka pengelolaannya harus dilakukan oleh pihak propinsi. Sebaiknya juga, semua program propinsi dikonsentrasikan pada 16 kawasan dimaksud agar dampaknya lebih nyata dan tidak tumpang tindih dengan program kabupaten. Ada tiga dasar argumentasi mengapa saya mengusulkan agar 16 kawasan dikelola propinsi.

Pertama, alasan strategis bio-fisik dan keunggulan komparatif. Keragaan wilayah NTT menunjukkan bahwa kondisi bio-fisiknya sangat beragam, sebaran daerah-daerah potensial untuk pertanian bersifat acak, dan hanya 30% dari total luas wilayah yang cocok untuk pertanian. Laju degradasi sumber daya lahan juga cukup tinggi sehingga luas wilayah kritis semakin meningkat. Potensi laut juga masih sangat sedikit yang dieksploitasi, padahal potensi lestarinya sangat tinggi. Penetapan ke 16 kawasan pengembangan prioritas tentunya telah melalui kajian yang mendalam sehingga merupakan sumber daya yang memiliki keunggulan komparatif, potensial menjadi pusat pertumbuhan baru jika dikelola dengan serius, dan secara faktual sudah menjadi pusat-pusat aktivitas pertanian/agribisnis dengan beberapa komoditas unggulan yang memiliki prospek pasar yang baik. Propinsi harus melanjutkan berbagai program yang telah direncanakan melalui studi sebelumnya agar tidak mubazir dana yang telah dikeluarkan.

Kedua, alasan administratif agar sejalan dengan kewenangan propinsi/gubernur yang sudah ada dan yang akan diperluas/diperkuat melalui revisi undang-undang pemerintahan yang sementara digodok oleh Depdagri bersama DPR RI dalam rangka memperkuat perannya sebagai wakil pemerintah pusat/koordinator pembangunan, dan (3) alasan keterpaduan program dalam rangka percepatan pembangunan dan sinkronisasi kebijakan pusat-daerah. Terkait dengan keunggulan komparatif dan posisi strategis 16 kawasan di atas, maka fungsi dan kewenangan propinsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan yang bersifat lintas wilayah kabupaten harus dijalankan secara optimal. Karakteristik hampir seluruh kawasan adalah lintas kabupaten.

Berikut beberapa kawasan sebagai contohnya. Kawasan Noelmina mencakup Oesao, Amarasi dan Bena (Kabupaten Kupang dan TTS), Kawasan Benanin mencakup Aeroki dan Besikama (TTU dan Belu) bahkan dengan TTS jika menggunakan pendekatan DAS. Kawasan Noelbesi mencakup Eban, Kapan, Amfoang (TTS, TTU dan Kupang). Kawasan Tanjung Bunga mencakup Tanjung Bunga, Konga dan Magepanda (Flores Timur dan Sikka). Kawasan Mbay mencakup Mbay, Mautenda, Maurole (Nagekeo dan Ende) dan Kawasan Wanokaka-Anakalang (Sumba Barat dan Sumba Tengah).

Ketiga: alasan sinkronisasi kewenangan, pendanaan dan program. Sebagai sumberdaya yang memiliki 'nilai lebih' (kawasan pengembangan prioritas pertanian), strategis dari segi geopolitik (laut dan perbatasan) dan memerlukan pendanaan yang besar untuk infrastruktur (daerah terkebelakang) tentunya propinsi - apalagi kabupaten - tidak akan mampu menanggung pembiayaan dan ada kewenangan-kewenangan pusat yang melekat di dalamnya. Oleh karena propinsilah yang paling tepat untuk mensinkronkan semua kebijakan pendanaan (APBD I, DAK, Dekon, Investasi Swasta, dana LSM dan Lembaga Donor, dll), kewenangan pusat (yang tidak diserahkan kepada daerah) dan kewenangan yang sudah diserahkan ke daerah, juga perizinan untuk investasi oleh pihak swasta.


Lokus 4 Tekad dan Anggur Merah

Selama ini (maaf kalau saya salah), propinsi seakan gamang dalam mengucurkan dananya untuk pembangunan, yang untung tentu saja kabupaten, tetapi sering terjadi lempar bola jika ada masalah dengan program/proyek propinsi seakan-akan kabupaten tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, sebaiknya propinsi fokus (menjadi pemain utama) pada 16 kawasan dalam mengibarkan bendera 'empat tekad dan anggur merah' sedangkan kabupaten bersifat menunjang. Sebaliknya, di luar 16 kawasan biarlah kabupaten menjadi pemain utama dan propinsi sebagai penunjang.

Dalam rangka mendongkrak potensi 16 kawasan tersebut dengan empat tekad dan didukung dana pemberdayaan anggur merah, maka langkah-langkah taktis strategis yang segera dilakukan propinsi adalah: (1) lalu karakterisasi yang mendalam atas keunggulan komparatif semua kawasan sehingga jelas kawasan-kawasan mana yang sangat sesuai dengan jagung, sapi dan cendana, (2) bagaimana disain programnya (tunggal jagung atau sapi atau integrasi), (3) bagaimana mengimplementasikan program pengembangan kelembagaan koperasi agar dana anggur merah tidak habis begitu saja, (4) bagaimana organisasi pengelolanya, apakah ada satgas tertentu atau otorita atau cukup melalui koordinasi yang selama ini dijalankan, (5) bangun indikator keberhasilan, (6) bagaimana peta jalan (road map) program, (6) identifikasi dan mengajak para pihak (stakeholders) yang berminat dan relevan, dan (7) bagaimana cara pengendalian atau monitoring/evaluasi: apakah menurut level (kegiatan/program yang sudah/belum berjalan), apakah menurut waktu (awal/sebelum kegiatan, sedang berjalan dan sesudah selesai program) dan apakah bersifat fokus pada outcome (dampak) atau OBMNE (Outcome Based Monitoring and Evaluation).

Setelah tersusun grand design makro, maka untuk masing-masing komoditas (jagung, sapi, cendana) dan program koperasi dijabarkan dalam perencanaan teknis yang detail. Misalnya, jagung dimulai dari kegiatan perbenihan (siapa, berapa kebutuhan) ke program budidaya (dimana, berapa luas, bagaimana dengan pengadaan sarana produksi, butuh mekanisasi atau tidak, target produksi, produksi untuk makan atau pasar) lalu terakhir ke pasca panen (penyimpanan, pemasaran, harga, pengolahan). Demikian juga sapi; harus dimulai dari perbibitan (di mana oleh siapa, berapa target produksi) lalu distribusi (kolektif atau individual, berapa skala untuk masing-masing kategori) dan pemasaran (hidup atau olahan). Cendana (seperti diakui bapak gubernur saat audiensi dengan BPTP NTT tanggal 20 September 2010) memerlukan ekosistem spesifik dan mungkin sulit dikembangkan secara massal tetapi dapat didisain menjadi produk wisata pendidikan sebagai pusat pembelajaran. Koperasi jelas harus menjadi wadah perekat dan penggerak dengan tiga fungsi utama: (1) lembaga permodalan, (2) lembaga pemasaran, dan (3) lembaga perwujudan semangat gotong-royong.

Peran propinsi pada kawasan pengembangan lainnya (DAS kritis, wilayah laut dan perbatasan serta wilayah terkebelakang) mungkin lebih pada koordinasi dan sinkronisasi kebijakan serta pendanaan. Koordinasi dilakukan dengan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan semua pihak terkait (Lembaga Penelitian, Lembaga Internasional, LSM dan Lembaga Kemasyarakatan). Khusus untuk kawasan terkebelakang, peran propinsi mungkin lebih fokus pada koordinasi untuk pembangunan infrastruktur agar isolasi dapat dibuka sehingga arus transportasi dan informasi menjadi lancar.

Tulisan ini bukan untuk menggurui, sekedar mengingatkan bahwa Propinsi NTT telah memiliki RTRW, di dalamnya terdapat 16 kawasan pengembangan prioritas. Terserah pemerintah propinsi mau atau tidak untuk mengisinya dengan program yang bermanfaat bagi rakyat dan wilayah NTT. Jangan sampai hanya menjadi dokumen yang mati dan pada suatu saat kita berujar 'Quo vadis. *



Peneliti Madya Sumberdaya Pertanian di BPTP NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar