Jumat, 15 Oktober 2010

Pribadi yang autentik dan relevan

Mengenang Pater Niko Hayon

Oleh : Paul Budi Kleden, SVD

Memperingati Hari Ulang Tahun Kelahiran ke-70 dan Pancawindu Imamat dari Pater Niko Hayon, pada bulan Desember 2006 Penerbit Ledalero menerbitkan sebuah buku kenangan berjudul “Liturgi Autentik dan Relevan” (editor Georg Kirchberger dan Bernard Boli Ujan). Liturgi yang otentik dan relevan adalah ungkapan lain dari inkulturasi liturgi, satu tema yang digumuli Pater Niko selama hidupnya. Pada tahun 1970 Pater Niko menulis tesis doktoralnya yang berjudul A Liturgy for the Florenese People. Di sana dia menguraikan makna dan penghayatan liturgi orang Flores. Sejak tahun 1971 beliau menjadi dosen liturgi yang banyak berbicara, mendorong dan mengupayakan inkulturasi liturgi.

Liturgi Gereja harus autentik, mesti setia pada ajaran dan warisan tradisi, tetapi serentak relevan, karena liturgi pada dasarnya adalah perayaan umat akan imannya pada waktu dan tempat tertentu. Autentisitas menunjukkan keberakaran, sementara relevansi menyatakan daya sapa aktual. Yang autentik adalah yang tidak menyimpang dari jati diri, yang asli, sementara relevansi menunjukkan daya sentuh bagi seseorang atau satu kelompokmasyarakat pada satu waktu dan tempat tertentu.

Autentik dan relevan, hemat saya, adalah juga ungkapan yang dapat menyatakan seluruh pribadi Pater Nikolaus Hayon, SVD. Dia adalah pribadi yang autentik, yang jujur dan polos. Pribadi yang jujur selalu menampilkan kesederhanaan. Pribadi seperti ini tidak merasa perlu membangun benteng berupa kewibawaan semu atau kekayaan yang dipamerkan. Dia berwibawa bukan karena kekuasaan atau karena kekayaan. Apa adanya, diri yang sejati, itulah yang ditunjukkan. Kepribadian yang autentik biasanya serentak sanggup menunjukkan relevansinya. Dia mampu menempatkan diri di hadapan lawan bicaranya. Sebab itu, pribadi seperti ini mudah merasa bergembira bersama orang lain kendati alasan kegembiraan itu sangat sederhana, dan turut terlibat dalam rasa duka saat orang lain menghadapi masalah atau mengalami kegagalan. Seorang yang berkepribadian autentik dan relevan tidak mengalami kesulitan untuk berempati dengan orang lain. Tentu saja, empati seperti ini tidak selalu memudahkan orang untuk mengambil keputusan, saat berhadapan dengan pandangan dan perasaan-perasaan yang saling bertentangan.

Banyak orang, entah anggota keluarga, murid dan mantan murid, sama saudara atau sahabat dan kenalan, yang mengenal Pater Niko, merasakan kesederhanaan yang terpancar dari hatinya. Dia memang gampang menjadi akrab, karena kejujuran dirinya. Kesederhanaan ini membuatnya peka terhadap situasi yang sedang dihadapi seseorang. Sebab itu, Pater Niko dapat tertawa lepas dan membuat lelucon yang menggembirakan. Tetapi dia dapat pula sangat serius dan penuh perhatian ketika orang menceritakan masalahnya. Padanya menjadi sangat jelas kebenaran hidup ini, bahwa menjadi penggembira tidak harus berarti kedangkalan, dan kesungguhan dalam hidup tidak mesti membuat orang selalu menatap dunia dengan wajah murung. Seseorang yang sungguh menghayati hidup dengan hati yang sederhana, dapat terseyum polos dan meledak ria dalam tawa, serta terpekur diam merenung rumitnya benang kehidupan. Karena keutamaan ini, Pater Niko menjadi seorang sahabat kehidupan dan teman yang baik bagi banyak orang lain.

Pater Niko adalah seorang anggota SVD, biarawan, imam dan misionaris yang autentik dan relevan. Dia sungguh menghayati arti hidup sebagai biarawan, imam dan misionaris yang sejati, yang memberikan seluruh diri, waktu dan perhatiannya untuk melaksanakan misi Gereja dan mengemban kepentingan serikat. Dia dekat dengan keluarganya, tetapi dia sadar bahwa hidupnya diabdikan untuk satu kepentingan yang melampaui urusan keluarga. Pikiran misionaris seperti ini tidak hanya disibukkan dengan apa yang menguntungkan keluarga sendiri, dan hatinya tidak diganggu dengan pelbagai urusan hanya demi kepentingan kampung halamannya.

Dia berakar dalam spiritualitas SVD yang telah dikenalnya melalui para misionaris yang bekerja di paroki asalnya, Ritaebang, Solor. Para misionaris itu telah menjadi satu model penghayatan hidup iman yang peka dan terbuka untuk melayani manusia tanpa kenal batas. Pengenalan itu perlahan bertumbuh menjadi ketertarikan kepada SVD ketika dia menjadi siswa seminari di Hokeng dan di Mataloko. Rasa tertarik itu kemudian berkembang menjadi cinta kepada SVD sejak dia menjalani masa novisiatnya di Ledalero. Cinta tersebut lalu membuahkan tanggung jawab dan rasa bangga dalam menjalankan berbagai tugas dalam tarekat SVD.

Cintanya kepada SVD menjelma dalam tanggung jawab. Cinta tidak pernah lepas dari tanggung jawab untuk mengemban tugas yang dilihat penting. Sejak tahun 1971 sampai 1995, saat ditunjuk menjadi sekretaris eksekutif komisi Liturgi Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), beliau bertugas sebagai dosen dan pendidik di Ledalero. Selama menjadi sekretaris komisi Liturgi KWI sampai tahun 2002, ketika diangkat menjadi Provinsial SVD Ende hingga wafatnya, beliau masih terus menjadi pengasuh matakulia Liturgi pada STFK Ledalero. Tidak gampang menjadi betah dengan tugas yang tidak selalu menyajikan variasi, seperti tugas sebagai seorang dosen di Seminari Tinggi. Namun Pater Niko bertahan sekian lama, karena hatinya sederhana dan terbuka, karena pribadinya autentik dan relevan. Rutinitas keseharian hidup di sebuah lembaga pendidikan calon imam diimbanginya dengan variasi keterlibatan emosional dan tegang kendornya pikiran yang rela berziarah secara intensif bersama anak-anak muda yang sedang bergumul menjernihkan panggilannya. Pater Niko adalah salah seorang dari barisan para saksi yang menunjukkan bahwa kekayaan makna hidup tidak ditentukan banyaknya tempat yang pernah disinggahi, tetapi oleh banyaknya hati manusia yang membuka diri dan menuturkan kisahnya karena berhadapan dengan hati yang mendengarkan.

Cinta menyatakan diri dalam kesediaan menerima tanggung jawab. Pater Niko mencintai SVD, karena itu dia bersedia menerima tugas dan tanggung jawab sebagai provinsial dalam usia 66 tahun, ketika sejumlah orang lain lebih memilih menikmati ketenangan masa pensiun. Dia sadar, masih banyak sama saudaranya membutuhkannya sebagai bapa dan sahabat, saudara dan pemimpin yang sederhana, yang mendengarkan dan berempati. Dia melaksanakan tanggung jawab ini, dan meninggal dalam tugas sebagai provinsial.

Perkenalannya dengan para misionaris SVD di Ritaebang, Solor, membuahkan tanggung jawab dan rasa bangga. Pater Niko berbangga karena anugerah iman yang dihidupi di tengah keluarganya yang sederhana, dan atas panggilan yang boleh diterimanya dari Allah. Setahun yang lalu dia boleh merayakan syukur Pancawindu anugerah imamat. Dia berbangga atas SVD sebagai sebuah serikat misi yang membuka hati dan pikirannya untuk berempati dengan banyak orang tanpa kenal batas ras, kebudayaan dan agama. Dia mengalami dan merayakan kebanggaan ini secara istimewa dalam keikutsertaannya dalam sidang umum (Kapitel Jenderal) SVD dalam bulan Juni-Juli tahun lalu. Pater Niko memang patut berbangga, karena dia telah menjadi pendidik yang sudah turut membentuk kepribadian banyak orang lain yang bekerja baik sebagai awam maupun sebagai imam, biarawan dan misionaris. Dia berbangga dapat menyumbang bagi pemberdayaan masyarakat dan pembaruan kehidupan keagamaan melalui banyak orang yang telah dididiknya. Pada Pater Niko terbaca jelas, bahwa kebanggaan bukanlah kesombongan atau keangkuhan. Rasa bangga adalah ungkapan syukur atas kekayaan leluhur yang telah turut menghidupkan kita, dan kesanggupan untuk terlibat dalam kegembiraan karena prestasi dan keberhasilan orang lain.

Pater Nikolaus Hayon, SVD adalah seorang tokoh pendidik. Melalui berbagai cara, seperti melalui khotbahnya yang selalu disiapkan dengan sangat baik, terlebih lagi melalui contoh hidupnya, dia menghendaki lahirnya manusia-manusia yang autentik dan relevan. Pendidikan pada umumnya, dan pendidikan calon imam khususnya, mestinya selalu bertujuan membantu setiap orang untuk menjadi diri yang autentik dan relevan. Itu berarti, pendidikan perlu memberanikan orang untuk jujur dengan diri sendiri, mengenal bakat dan kemampuan serta mengakui kelemahan dan kekurangannya. Pendidikan juga hendaknya membuat seseorang peka terhadap lingkungan dan masyarakat tempat dia berada, agar di sana dia dapat meringankan beban hidup orang lain dan bukannya menjadi beban tambahan.

Kematian adalah ekspresi diri manusia yang paling jujur. Di dalam kematian manusia menjadi telanjang di hadapan Allahnya. Dia tak punya apa-apa untuk dapat mengelakkan diri dari kematian. Jumlah buku yang sudah ditulis, seminar dan kurus yang telah diberikan, dan permasalahan yang masih harus ditangani, tidak mempan dijadikan alasan untuk memperpanjang usia hidup. Kematian menyingkapkan secara jujur jati diri seseorang. Namun, serentak kematian menyatakan relevansi orang tersebut. Di dalam dan melalui kematian seseorang menyapa dan menunjukkan keberartiannya bagi yang masih hidup. Melalui dan di dalam kematiannya Pater Niko menggarisbawahi nilai satu kepribadian yang autentik dan relevan. Kita sampaikan terima kasih buatnya, guru yang sederhana dan baik itu. Requiescat in Pace.

Sumber : Flores Pos, 30 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar