Selasa, 12 Oktober 2010
KEPEMIMPINAN LAMAHOLOT
Oleh Yoseph Lagadoni Herin
-----------
Anak Lamaholot kelahiran Pamakayo, Solor. Sarjana FIA Undana Kupang (1993). Pernah menjadi Wartawan Pos Kupang, Harian Nusa Tenggara Denpasar, Tabloid Perspektif, Majalah Archipelago, Majalah Warta Bisnis, Majalah Media Otonomi (semuanya di Jakarta). Kini Wakil Bupati Flores Timur dan Anggota ‘Paguyuban Peduli Budaya Lamaholot’
---------------
ADALAH Willem Openg yang mengawalinya. Melalui artikelnya, (PK 19/6/2008), bertajuk Bupati Flotim dalam Konstelasi Kebudayaan,Willem Openg mengajak sidang pembaca masuk ke dalam ruang Debat Publik dengan tema pokok: Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan. Belum ada yang menyambut. Lalu muncul tulisan dengan nada yang nyaris sama dari Peka Wisok, Otonomi Daerah dan Pendekatan Kebudayaan (Catatan untuk Flotim), (PK 2/7/2008).
Kedua putra Lamaholot nun jauh di tanah rantau ini berpijak pada peg news yang sama dalam melahirkan tulisan. Yakni berita media massa tentang pernyataan Bupati Flotim Drs Simon Hayon yang dinilai menyesatkan dan mencederai rasa iman umat beragama, terutama Katolik sebagai agama mayoritas. Tulisan mereka mengilhami saya untuk ikut terlibat dalam ruang publik yang telah dibuka. Sebelum jauh melangkah, saya ingin menegaskan, keterlibatan saya semata sebagai putra Lamaholot yang kebetulan senang bersentuhan dengan sastra dan budaya. Sangat personal, tidak ada kaitannya dengan jabatan politik saat ini.
Keyakinan Personal Pejabat Publik
Terhadap pertanyaan yang diajukan Willem Openg dan Peka Wisok: apakah benar Bupati Simon Hayon pernah membuat pernyataan seperti itu, bagi saya semuanya telah jelas. Sebuah logika dasar dalam mata kuliah Pengantar Filsafat yang masih saya ingat mengajarkan begini, ‘ada karena ada’. Artinya, sesuatu itu ada karena sesuatu itu ada. Kalau pernyataan ini masih membingungkan, saya coba memformulasikan dalam bahasa sehari-hari: ada api maka ada asap. Atau, ada asap pasti kerena ada api! Demikianlah!
Indikasi lain dari kejelasan jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah klarifikasi Kabag Humas dan Protokol Setda Flotim, Nor Lanjong Kornelis SH, yang tumpang-tindih dengan logika yang terkesan dipaksakan. Dalam harian Pos Kupang, 6 Juni 2008, dia membantah. Dia katakan, Bupati Flotim belum pernah membuat pernyataan resmi bahwa Yesus lahir di Wureh, Nyi Loro Kidul adalah Bunda Maria dan kuburan Firaun ada di Desa Nobo Gayak.
Tapi dalam Koran Spirit NTT edisi 23 – 29 Juni 2008 –koran mingguan yang juga diterbitkan oleh Pos Kupang, Nor Lanjong memberikan klarifikasi yang berbeda. Di media ini dia mengatakan,”Harus dibedakan antara konteks ajaran dan konteks sejarah. Apa yang disampaikan bupati selama ini dalam konteks sejarah, menggali nilai-nilai luhur yang berkembang dalam budaya Lamaholot. Jadi jangan menafsirkan dalam konteks ajaran.” Wow, luar biasa dangkal logika Kabag Humas ini!
Dalam masyarakat berbudaya Lamaholot, koda pulo kehirin lema (selanjutnya disingkat koda-kehirin) atau “sabda” adalah segalanya. Koda-kehirin ibarat kitab suci bagi umat beragama modern. Koda-kehirin adalah akar yang mengilhami dan menginspirasi bertumbuhnya manusia Lamaholot, batang yang menopang tubuh kehidupan Lewotana dan curahan sejuk yang membuat pohon kehidupan manusia Lamaholot di atas tanah leluhurnya menjadi rimbun dengan nilai-nilai yang menyejukan ikatan kebersamaan. Baik kebersamaan dalam hubungan dengan lera wulan-tanah ekan (langit dan bumi: Tuhan), lewo tana (kampung halaman beserta segala isinya yang kelihatan dan tidak kelihatan) serta lango uma-suku ekan (sesama saudara yang kelihatan dan tidak kelihatan).
Singkat kata, koda-kehirin adalah lentera kehidupan masyarakat Lamaholot, sebagai pusat nilai. Koda-kehirin diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk temutu (tuturan). Nor Lanjong, temutu pada hakikatnya adalah ajaran. Ajaran tentang nilai-nilai universal kelamaholotan, tentang prinsip-prinsip hidup sesuai standar atadiken (manusia berbudi-adat). Ada juga ajaran tentang sejarah yakni temutu usu-asa (asal usul). Temutu usu-asa bercerita tentang sejarah, baik sejarah suku, lewotana, maupun sejarah hak ulayat dan lainnya. Lalu mengapa mesti dipisah antara ajaran dan sejarah dalam koda kehirin? Keduanya inheren, melekat, dan tidak saling meniadakan!
Nor Lanjong juga tidak bisa membedakan antara “nilai” dan “fakta”. Penjelasannya dalam Spirit NTT selanjutnya seperti ini,”Selama tiga tahun bupati berkeliling ke desa-desa senantiasa menjujung tinggi adat dan budaya Lamaholot di mana terdapat koda adat (Sabda) yang berisikan ajaran-ajaran/prinsip-prinsip hidup yang disebut koda pulo, kehirin lema. Kalau ada fakta-fakta sejarah baru, pihak arkaelog dari Larus-Prancis (yang benar, Universitas La Rochelle-Prancis, pen) akan menelitinya.”
Fakta Lamaholot itu berbeda bagai langit dan bumi dengan nilai luhur Lamaholot. Masyarakat Lamaholot mendiami wilayah Flores Timur daratan, Pulau Solor, Adonara, Lembata dan sebagian Alor-Pantar serta memiliki sekitar 19 dialek bahasa Lamaholot. Itu fakta. Fakta mengenal ruang dan identitas sehingga bisa dikenal indera-indera. Nilai-nilai luhur adalah sesuatu yang tidak bersentuhan dengan ruang. Sesuatu yang tidak kelihatan, yang hanya bisa dipelajari, dihayati dan dilaksanakan. Itulah bedanya, Nor Lanjong!
Klarifikasi yang tumpang tindih dengan logika yang amburadul seperti ini, sesungguhnya mengandaikan bahwa “sesuatu itu memang ada atau pernah terucapkan.” Di sini menjadi telanjang untuk dibaca bahwa klarifikasi hanya sebagai upaya pembelaan diri di satu sisi, dan pembohongan publik di pihak lainnya. Tampaknya, memiliki sedikit kerendahan hati untuk mengaku khilaf dan meminta maaf sudah menjadi barang langka bagi para pemimpin zaman ini.
Pejabat publik boleh saja bisa berdalih bahwa apa yang disampaikan merupakan pandangan dan keyakinan pribadi (sebagaimana pembelaan seorang ulama Katolik). Pertanyaannya: jika bersifat personal mengapa harus disampaikan ketika sedang melaksanakan tugas-tugas sebagai pejabat publik dan dalam forum publik pula? Masihkah dikatakan masalah personal jika semuanya sudah terlanjur tumpah-ruah ke dalam ruang dan waktu publik?
Sampai pada pertanyaan ini, saya teringat pesan bijak dari negeri Tiongkok. Adalah Baiyun, seorang guru Zen yang berpesan kepada umat Yang Wuwei. “Jika mengucapkan kata-kata, engkau harus selalu mempertimbangkan akibatnya. Jika engkau melaksanakannya, engkau harus mempertimbangkan cakupannya…. Para leluhur berbicara dengan kata-kata yang standar, dan tindakan mereka pun dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Sehingga mereka mampu berbicara tanpa menimbulkan masalah dan melakukan sesuatu dengan tidak mendapatkan malu.”
Kepemimpinan Lamaholot
Koda-kehirin Lamaholot menurunkan sejumlah pesan bijak tentang kepemimpinan dan tugas-tugas seorang pemimpin. Intisari ajarannya senafas dengan terminologi kepemimpinan terbaru yang digagas Linda A Hill. Yakni, “tentang bagaimana membangun hubungan emosional untuk memotivasi dan menginspirasi orang-orang.” Dalam konteks kepemimpinan Lamaholot, teori Linda A Hill tertuang dalam ungkapan: huda-adok (menyuruh dan memotivasi) ketika sang pemimpin berada di belakang, gute-gelekat (melayani) ketika berada di tengah dan nurun-noni (memberi petunjuk) ketika berada di depan.
Sebelum huda-adok, seorang pemimpin terlebih dahulu harus pupu ribu-puin ratu, pupu naan getan, puin naan gole (mengumpulkan dan mempersatukan masyarakat). Maksudnya, masyarakat jangan tercerai-berai, sebagaimana ungkapan puin taan uin to’u, gahan taan kahan ehan, atau eket taan to’u helo jin lali jawa, welak taan ehan rupan Tapo teti tonu. Dalam tugas gute-gelekat, pemimpin diharapkan bisa peheng-pegeng (mengayomi), gurun-gawak (melindungi), dan bote-baan (mengangkat harkat dan martabat) masyarakat dan lewotana. Semua tugas gute-gelekat ini tertuang dalam ungkapan: bote teti haak, tedun lali lein; prekun mala manuk ina, prama nope kolon rone (ibarat induk ayam melindungi dan membesarkan anak-anaknya).
Sedangkan tugas nurun-noni mengharapkan seorang pemimpin sebagai suri teladan. Orang Lamaholot mengharapkan pemimpinnya harus selalu benar sebagaimana ungkapan, pana ake tala raran saka matan, gawe ake tala nekin doni jaen. Pile mala uli elan, tada mala raran laen. Temodok di sama todok hala, bewalet di sama walet kurang (pilih jalan yang benar agar jangan sampai tersesat atau terantuk). Tugas nurun-noni juga dimaksudkan sebagai teladan dalam mengamalkan dan melaksanakan nilai-nilai. Karena sang pemimpin sekaligus menjadi guru untuk tutu koda pulo, marin kehirin lema (menuturkan dan mewartakan sabda).
Orang Lamaholot selalu percaya bahwa sebagai pusat nilai, koda-kehirin juga memiliki daya magis. Selain menjadi oksigen bagi nafas hidup manusia, kode-kehirin juga bisa menjadi senjata yang mematikan. Karena itu orang tua selalu punya nasihat, jaga koda-kehirin karena koda bisa leko tuberket, kirin bisa bolak mangerket (hati-hati berbicara karena kata-kata bisa membunuh). Karena itu, dalam menuturkan dan mewartakan sabda, seorang pemimpin harus tahu batasan-batasannya. Koda-kehirin yang dituturkan dan diwartakan harus sesuai dengan temutu yang diturunkan leluhur. Bukan hasil rekaan, khayalan atau halusinasi. Jika pemimpin menuturkan temutu hasil khayalan sendiri, maka bisa disebut dia sedang mengarahkan masyarakat ke dalam jalan sesat.
Barangkali keadaan seperti ini yang sedang terjadi di Flores Timur, lewotana yang agung dan mulia sebagaimana tergambar dalam sapaan lewo ihiken selaka, tana woraken belaon ini. Lagi-lagi saya teringat negeri Tiongkak. Guru Yuan pernah berpesan kepada rekannya Wuzu. Begini pesannya, “Pikiranlah yang menguasai jasmani seseorang dan menjadi dasar bagi berjuta aktivitas. Jika pikiran tidak dicerahkan dengan sempurna, maka khayalan akan muncul dengan sendirinya. Bila khayalan muncul, pengertian terhadap kebenaran menjadi tidak jernih. Benar dan salah menjadi kabur.”
Saya juga teringat seorang guru bangsa Tiongkok lainnya, Kong Hu Cu. Suatu hari ia bersama sejumlah muridnya berjalan melintas di depan istana kaisar. Murid-muridnya bertanya, “Guru , apa yang pertama kali dilakukan, seandainya terpilih menjadi kaisar?”. Sang guru menjawab, “Tentu saja meluruskan bahasa”. Para murid terdiam dan memandang sang guru dengan tatapan penuh tanya. Kong Hu Cu lantas menjabarkan, “ Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat, tidak diperbuat. Jika tidak diperbuat, moral dan seni akan merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya akan berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka, tak boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatakan. Ini yang paling penting di atas segala-galanya.”
Hal lain yang harus diperhatikan pemimpin Lamahaolot dalam menuturkan dan mewartakan koda-kehirin adalah mengetahui mana yang boleh dan mana yang haram. Pemimpin boleh saja mewartakan sabda tentang nilai-nilai universal. Tapi haram hukumnya menyentuh ranah temutu usu-asa (tutur sejarah) dari sebuah suku/marga atau kampung. Karena hukum Lamaholot menyebutkan, temutu usu-asa hanya boleh diceritakan oleh ‘orang dalam’ suku atau pemilik kampung tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari bias dalam penuturannya.
Repotnya, jika sang pemimpin merasa sok pintar dan tahu segala tentang suku dan kampung orang lain dan secara serampangan memberikan penafsiran atas makna nama dari sisi etimologis. Pemimpin seperti ini bukanlah tipe yang diidealkan dalam konteks budaya Lamaholot. Sejatinya, pemimpin Lamaholot adalah penjaga dan pengawal nilai-nilai. Yang kita saksikan sekarang, tatanan nilai-nilai kelamaholotan sedang diobok-obok oleh mereka yang mengaku pemimpin berparadigma budaya. Tapi mau bilang apa. Semua sudah terjadi. Tak terelakan! (***)(Sumber Pos Kupang)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar